Rumah tangga yang menapaki usia belasan tahun, besar kemungkinan telah melewati aneka rupa dinamika. Bisa berupa salah pahamnya suami istri, cek cok kecil atau saling sewot, tukar pendapat berujung saling diam. Termasuk ujian keuangan, yang menyesakkan tetapi mau tak mau musti dihadapi.
Dan luar biasalah, kalian suami istri yang terus bertahan di tengah segala hantaman itu. Keteguhan, kesabaran, kesetiaan dan kekompakan, hanya bisa dibuktikan oleh ujian rumah tangga.
Dan soal ujian keuangan, saya dan istri juga mengalami. Kami benar-benar di posisi pasrah, pada kehendak-NYA atas kejadian semesta yang telah ditetapkan. Kami merasa sangat kecil, karena tak kuasa pada diri sendiri.
------
"Ayah, berasnya hanya sisa buat sekali masak," bisik istri selepas isya, sembari makam malam.
Hati saya ciut dan terbersit kawatir, Â mencari cara mengadakan kebutuhan beras esok hari. Karena ada perut istri dan anak-anak, yang musti diisi makanan. Sementara uang terselip di dompet atau rekening, sedang sangat memprihatinkan.
Semalaman saya berpikir keras, mencari cara agar stock beras terisi kembali. Saat pikiran sedang buntu dan kalut, teringat kartu dengan uang elektronic di dalamnya. Saldonya yang tak seberapa, setidaknya bisa menyelamatkan keluarga kami.
Keesokan harinya, empat liter beras akhirnya terbeli. Senyum tipis istri terbit, meski setelah ini berderet kebutuhan dapur masih mengantri.
------
Dalam sebuah keluarga, setiap anggotanya memiliki tugas dan peran masing-masing. Tugas yang jangan ditukar sekehendak hati, agar tidak berantakan.
Ayah si tulang punggung keluarga, memikul amanah menjemput nafkah. Setelah didapat dibawa pulang, dipersembahkan untuk istri dan anak-anak di rumah. Perkasanya tenaga ayah, menjadi ibadah ketika digunakan untuk bekerja.
Istri menjaga gawang, memastikan rumah menjadi tempat paling nyaman. Tugas yang tidak boleh disepelekan, hanya karena secara hitungan ekonomi tidak kelihatan.
Dan anak-anak dipersiapkan untuk masa mendatang, dengan keteladanan ayah ibunya. Anak-anak berhak mendapatkan contoh baik orangtuanya, bekal menghadapi kehidupan.
Setiap anggota keluarga, keberadaannya memiliki keutamaan tak tergantikan. Tidak boleh ada yang merasa superior, sementara yang lain dianggap beban.
Ayah sang kepala keluarga, jangan merasa berkuasa. Seenaknya berbuat kasar pada istri dan anak- anak, merasa pemilik uang seutuhnya. Ayah pemegang tanggung jawab besar, agar yang di rumah merasa nyaman.
Ayah yang sedang di fase kesulitan keuangan, jangan marah dan sensitive. Tetaplah bersabar, sembari berupaya sekuat tenaga.
Lagi dan lagi, jangan menganggap istri dan anak adalah beban. Mereka adalah amanah kehidupan, yang pasti memberi hikmah terbaik di kemudian hari.
Ketika Uang Ayah Habis Sedangkan Stok Beras Sudah Menipis
Berada difase paceklik, memang sangat tidak mengenakkan. Segala usaha dikerahkan, seolah memberikan hasil tak setimpal. Ayah yang berusaha bertahan, adalah ayah yang meyakini sebuah proses.
Bahwa tugasnya adalah bekerja dan bekerja, sedangkan besaran perolehan bukan lagi wewenangnya. Tetapi selama untuk anak istri diikhtiarkan, niscaya kan ada keajaiban datang tak terduga.
Jujurly, sebagai ayah saya masih terus belajar. Meyakini bahwa istri dan anak-anak sama sekali tidak pernah memberati, mereka hidup dengan jatah rejeki yang dijamin pemilik kehidupan.
Bahwa saya hanya perantara, bahwa segenap jerih payah dan pengorbanan kelak ada catatan dan perhitungannya. Saya musti bangga menjadi kepala keluarga, dan pencarian nafkah adalah medan juang menggapai derajad mulia.
--- ----
Ketika uang ayah habis, sedangkan stok beras sudah menipis.
Saya pribadi merasakan, denyut nadi berdetak lebih kencang. Tak sabar menanti, keajaiban apa yang akan tiba. Toh, sebagai ayah saya tak henti berusaha. Tak berputus melangitkan doa, apapun asal halal dilakukan.
Selama penggunaan uang ayah, benar-benar untuk belanja menafkahi keluarga. Maka saya sangat yakin, Sang Khaliq tidak akan membiarkan hamba yang gelisah. Entah rejeki istri, entah rejeki anak, entah rejeki suami, mana saja yang lebih dulu datang. Yang penting masalah beras, bisa segera teratasi.
Kompasianer's dengan usia pernikahan belasan tahun bahkan lebih, pasti telah banyak liku-liku dialami. Aneka peritiwa yang membukakan pencerahan, benar adanya bahwa istri dan anak membawa rejekinya sendiri-sendiri.
Rumah yang ditinggali, kendaraan dinaiki, makanan tersaji saban hari, kebersamaan, ketenangan, kebahagiaan dirasakan. Pasti terdapat catatan rejeki, dari setiap anggota keluarga.
Ayah yang notabene kepala keluarga, jangan merasa memiliki semua, hanya karena bekerja menjemput nafkah. Jadilah ayah pengayom, melindungi dan menyayangi anak dan istri. Dari tetes keringat mengembun di pori-pori ayah, terkandung bagian rejeki anak dan istri.
Ketika uang ayah habis, sedangkan stok beras menipis. Teruslah berusaha, buktikan kalian ayah hebat, yang memperjuangkan istri dan anak-anak. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H