Saya sangat senang, mendapati konten inspiratif di medos tentang pernikahan. Seolah mengimbangi konten tema semisal, tetapi membahas dari sudut kdrt atau kehadiran orang ketiga. Mirisnya  kasus-kasus yang viral, justru dari sisi tidak baik pernikahan.
Oke, saya sepakat. Bahwa tidak ada yang bisa menjamin, di kehidupan rumah tangga akan berjalan mulus. Suami istri akan mengalami, masa jatuh dan bangkit, jatuh lagi dan lagi, bangkit sedikit trus jatuhnya sampai ke pelosok. Hingga keajaiban itu tiba, masa kebangkitan menjelang.
Yakinlah, setiap rumah tangga pasti memiliki masalah. Setiap keluarga, memiliki takdi dengan versinya masing-masing.
Tugas suami istri, adalah belajar mencari jalan keluarnya. Bahwa setiap masalah, sejatinya memberikan energi. Dengan adanya masalah, suami istri kan teruji kekompakan. Semua keniscayaan bisa terjadi di pernikahan, yang mengantarkan pada kedewasaan kehidupan.
Syariat pernikahan dihadirkan, pasti dengan tujuan mulia. Setiap orang disediakan pasangannya, mari dirawat kebersamaan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau ada kalimat "sehidup sesurga", smoga bisa menjadi tujuan setiap pasangan.
Wallahu'alam bishowab.
------
Lagi-lagi, di laman instagram saya menemui konten menarik. Unggahan yang dibuat kolase, ada sekitar sepuluh slide. slide paling depan bertuliskan, "Nasehat pernikahan dari yang udah nikah 50 tahun". Keren banget nggak sih, mencapai usia emas pernikahan.
Inti dari postingan tersebut adalah, menikah itu artinya adalah tentang menerima. Salah satu point yang ingin saya pertajam, adalah menerima diri pasangan kamu secara utuh. Mulai dari fisiknya, akhlaknya, finansialnya, pemikirannya, serta kelebihan dan kekurangannya.
Saya sangat-sangat sepakat, pada kalimat "menerima pasangan secara utuh". Karena setiap orang dihadirkan sepaket, ya ada baiknya dan ada tidak baiknya. Yang baik diperbanyak, yang tidak baik sebisa mungkin disedikitkan.
Selama yang tidak baik masih bisa ditolerir, sebaiknya janganlah diperbesar. Karena diri sendiri sama adanya, punya hal baik dan sebaliknya. Manusia tempatnya salah. So, sewajarnya saja menyikapi perbedaan.
Menikah Itu adalah Tentang Menerima
Saya bersyukur, memiliki role model dalam berumah tangga. Adalah ayah dan ibu kandung, yang telah bersama hingga usia 46 tahun pernikahan. Mereka terpisahkan maut, ayah meninggal di usia 70 tahun.
Saat ayah masih ada, ibu pernah berujar ingin merayakan pernikahan emas (empat tahun lagi). Ayah nyeletuk, "kok sik suwi men---kok masih lama banget---yo bu". Entahlah, mungkin jawaban itu sebuah pertanda.
Bagi saya, ayah dan ibu adalah dua karakter jauh berbeda. Tetapi uniknya, bisa saling mengisi bisa saling melengkapi.
Ibu cenderung keras kepala, Â tidak sabaran, dan kalau sudah kemauan maka gigih sekali mewujudkan. Sedangkan sikap ayah cenderung kalem, tidak meledak-ledak, dan bisa menjadi penyeimbang kekerasan istrinya.
Ayah yang guru SD, hidupnya lempeng apa adanya dan nrimo. Lebih banyak diam, bahkan ke kami anak-anaknya jarang bicara. Dari cerita ibu (setelah ayah meninggal), baru saya ketahui musababanya.
Pada akhir tahun 60-an, ayah sempat berobat jalan ke RSJ. Ketika itu nama ayah difitnah, Â dikaitkan dengan partai terlarang saat itu. Â Berbulan-bulan ayah tidak tenang hidupnya, terkena teror dan diburu aparat. Kondisi yang tidak kondusif, berpengaruh pada kejiawaannya.
Di masa-masa sedemikian pelik, ibu setia mendampingi. Ayah diungsikan ke rumah saudara di luar kota, menjalani rawat jalan ke RSJ. Ibu yang ibu rumah tangga, menghidupi diri dan dua anak balita. Setelah kondisi mulai kondusif, kejiwaan ayah pulih dan pulang ke rumah.
Siapa nyana, buah dari kejadian memilukan itu. Ikatan suami istri semakin terkuatkan, ibu teruji dalam kesetiaan. Dan ayah yang mulai menata diri, semakin sayang pada keluarga. Meski menjadi lebih pendiam, tetapi ayah adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab.
------
Ya, menikah adalah tentang menerima apapun kondisi pasangan.
Selama tidak keterlaluan, misalnya mengajak melanggar syariat, atau berkhianat berpindah ke lain hati, atau hal-hal lain yang prinsip. Pertahankan dan bersetialah pada satu orang, yaitu suami atau istri.
Kalau sekadar soal kesulitan ekonomi, bolehlah dihadapi dicarikan jalan keluarnya bersama. Karena setiap manusia, pasti punya jatah kesenangan dan kesedihan yang dipergilirkan. Tinggal dijalani, sembari berusaha keluar dari kesusahan.
So, menikah itu adalah tentang menerima. -- semoga bermanfaat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H