Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Stop Cerita Kesedihan pada Orangtua!

10 Agustus 2024   16:03 Diperbarui: 11 Agustus 2024   09:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu saya dibuat terkaget- kaget, mendapati kabar dari kakak tengah yang tinggal kampung. Bahwa Ibu sepuh, ibu yang bertetangga dan sudah dianggap saudara sendiri. Kedapatan sakit kepayahan, diakibatkan tensi darah yang melonjak naik.

Padahal anaknya (yang merawat) bercerita, bahwa makan dan minum si ibu sangat dijaga. Di usia hampir 80 tahun, cahaya di wajahnya masihlah segar. Karena faktor usia, membuat gerak ibu tidak segesit dulu.

Siang itu, hati ini ikut remuk seremuk-remuknya. Melihat tatapan mata kosong, mendengar jawaban dengan kalimat yang cadel.  Dari video dikirim, cukuplah menggambarkan keadaan ibu sepuh yang sedang tidak baik.

------

Kompasianer's, saya yakin sepakat dengan peribahasa "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah".  Ya, kasih sayang ibu dijamin original, sangat dalam dan tak terbatas dipersembahkan untuk buah hati-nya.

Ibu siap menerima anak dalam kondisi apapun, dirinya rela memasang badan. Meski anak berbuat salah sebesar apapun, dada ibu akan membuka pintu maaf sebesar-besarnya. Meski si anak sudah dewasa dan beranak-pinak, ibu tetaplah ibu dengan kasih sayang tak berputus.

Tetapi, sebagai anak kita musti tahu diri.

Kalau anak sudah dewasa, sudah berkeluarga dan beranak-pinak. Janganlah memanfaatkan situasi, menggunakan rasa sayang orangtua untuk keuntungan sendiri. Bukankah definisi lelaki dewasa, adalah lelaki dengan pribadi yang mandiri.

Tak elok rasanya, lelaki dewasa sudah berumah tangga pula (bahkan beranak cucu), masih berkeluh kesah pada ibu. Semua keputusan yang diambil oleh lelaki dewasa, selayaknya ditanggung sendiri segala konsekwensinya. Dan itulah, ciri-ciri laki-laki sejati.

Cukuplah, orangtua yang sudah sepuh direpoti. Biarkan mereka menikmati masa tua, setelah perjuangan membesarkan anak-anak selesai dijalani. So, please. Stop bercerita kesedihan pada orangtua!

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Stop, Cerita Kesedihan pada Orangtua!

Kompasianer's, setiap manusia hidup dengan jalan takdir sendiri-sendiri. Pasti ada tantangan, pasti ada gejolaknya, demikian hukum kehidupan berlaku. Tetapi bukankah pelaut handal, akan lahir dari ombak yang gemuruh. Yakinlah, bahwa tantangan itulah yang akan menjadikan manusia kuat bak pelaut handal.

Ujian setiap orang berbeda, mari hadapi jalan takdir masing-masing. Tak perlu membanding-bandingkan, tak usah adu nasib dengan orang lain. Karena ujian buat diri, hanya diri sendiri yang sanggup menghadapi.

Pun orangtua kita, juga hidup dengan ujiannya. Semasa mudanya, telah mendidik dan membesarkan kita. Telah banyak pengorbanan dilakukan, untuk anak-anaknya. Bahkan setelah sepuh, mereka dengan ujian badan yang mulai melemah. 

Jadi, jangalah ujian anak dibebankan ke orangtua.

-----

Kembali ke kisah ibu sepuh, tetangga sebelah rumah di kampung halaman. Setelah ditelusuri, usut punya usut akhirnya diketahui sumber masalah.

Bermula dari suatu siang, satu anak (ibu sepuh) yang merantau di luar pulau bertukar kabar via phone. Bahwa dirinya kesulitan keuangan, untuk membayar sekolah anak (berarti cucu ibu sepuh). Kemudian masih ada kebutuhan lain, membuat si anak makin kerepotan.

Sehari setelahnya, si ibu tampak murung. Sampai anak yang merawat, tak sengaja mendapati ibunya menangis. Setelah ditanya sebabnya, nama anak di perantauan (kakak dari anak yang merawat) disebutkan.

Keesokan harinya (dua hari setelah telepon), anak yang di rumah kalang kabut. Kondisi ibu sepuh drop, setelah diperiksa dokter tensinya naik. Badan ibu sepuh lemas, untuk berpindah tempat dibantu kursi roda.

Melihat video yang sampai di gadget, saya sangat-sangat prihatin. Ibu sepuh, yang seharusnya tidak perlu memikir hal-hal berat. Kini terkena imbas, dari cerita sedih yang dialami anak dikasihi.

Kompasianer's, cukuplah cerita ini memberi pelajaran besar. Please, stop cerita sedih pada orangtua!

----

Sumber gambar: dutaislam.com
Sumber gambar: dutaislam.com

Seketika saya tergelitik, mencari tahu batas kewajiban orangtua menafkahi anak. Dari beberapa artikel saya baca, baik dalam padangan islam atau secara negara. Bahwa kewajiban dan hubungan orangtua pada anak, dikategorikan pada dua hal.

Kewajiban orangtua pada anak, baik secara non materiil atau materi berlaku berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan. Bagi anak laki-laki, batasnya sampai anak laki-laki dewasa (secara UU usia 18 th, dikategorikan dewasa). Sedangkan bagi anak perempuan, sampai menikah dan tugas menafkahi beralih ke suaminya.

Anak laki-laki yang menikah, otomatis sudah bukan tanggung jawab orangtua. Semua perkara yang diputuskan, bisa dirundingkan dengan pasangan. Maka kalau sedang di masa sulit, silakan bersama pasangan mencari jalan keluar. Janganlah berbagi kesusahan, kepada orangtua yang sudah sepuh. Lebih-lebih berbagi pilu pada ibu, duh jangan sampai.

Cukuplah ibu yang sepuh, mengurusi dirinya sendiri. Agar di masa tua, pikirannya tenang dan hatinya senang. Tubuh yang mulai melemah, jangan ditambahi beban di luar kemampuannya.

So, Kompasianer's, ijinkan dengan kerendahan hati saya memohon. Stop, cerita kesedihan pada orangtua!

 -- semoga bermanfaat-.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun