Entahlah dari mana sumber keyakinan itu datang, tentang hikmah sebuah pernikahan yang lebih besar dibanding tantangan. Kalau ada yang bilang menikah untuk bahagia, apa benar pernyataan tersebut sesuai kenyataan.
Bahwa dalam kehidupan pernikahan, sikap mengalah musti dikedepankan, ada kebiasaan menekan ego atau menomorduakan hak, mendahulukan pasangan dan anak-anak.
So, apakah ada bahagia bisa ditempuh, dengan cara mengalah dan terus mengalah?
Ketika Menikah adalah Belajar Selesai dengan Diri Sendiri
Ibarat belajar sepanjang usia, maka itulah pernikahan. Jalan berliku akan dan sedang dilakoni ayah dan bunda, membutuhkan kesabaran tak berputus. Teteapi bahwa pada proses di sepanjang sisa usia itu, niscaya menawarkan sensasi perasaan yang sangat unik.
Ada kalanya masa pasang itu datang, kemudian di waktu tak terduga berganti masa surut. Bahwa tiba satu masa pintu kelapangan terbuka lebar, pergantian ke kesempitan juga tanpa pakai janjian. Pasangan suami istri, harus menanggung banyak ketidakenakan.
Apalagi kalau sudah ada anak, demi mereka orangtua bersedia memasang badan. Orangtua dituntut rela berkorban, mengutamakan kepentingan buah hati. Dan akan sampai pada satu titik, (menurut saya) selesai dengan diri sendiri.
---
Sebuah pencerahan, saya dapatkan saat menyimak tausiyah seorang Ustad. Bahwa manusia tempatnya salah dan khilaf, demikian sunatullah berlaku di kehidupan fana. Â Kemudian di setiap diri manusia, terjadi pertentangan ego setiap saat.
Maunya menang sendiri, maunya punya apa-apa yang diingini, maunya menjadi nomor satu dan seterusnya. Sehingga apapun akan dilakukan, demi memenuhi ego tersebut.