-----
Ada satu moment, yang tidak bakalan saya lupakan seumur hidup. Adalah moment ijab qobul, dihadapan ayah mertua disaksikan sanak kerabat dan handai taulan. Moment sakral tersebut, ibarat serah terima tanggung jawab.
Adalah ayah melepaskan anak perempuan, diserahkan kepada lelaki pilihan anaknya (adalah saya). Tentu bukan hal yang mudah, karena lelaki tersebut notabene orang lain. Orang yang baru beberapa bulan dikenal, tiba-tiba diserahi untuk melindungi anak kesayangan (ayah tersebut).
Bagi saya, ikrar saat ijab kabul. Adalah janji kepada Sang Khaliq, dipersaksikan orang-orang yang sayang pada calon istri (kala itu). Ikrar yang tidak main-main, dengan pertanggungjawaban dunia akhirat. Saya musti bersikap gentelman, dengan cara menepati janji tersebut.
Nyatanya, menunaikan janji ijab bukanlah perkara mudah. Saya musti melewati aral rintangan, situasi kondisi yang terus menguji pertahanan diri. Terutama ketika masa sempit datang, saat harap yang dihunjam di doa tak juga tiba. Saya sempat merasa, menjadi orang yang terpuruk ketika itu. Meski segala daya dikerahkan, meski segala upaya telah dipersembahkan. Tetapi lorong gelap, rasanya belum menemui ujung.
Tetapi bukankah, setiap orang hidup dengan jalan takdirnya masing-masing. Dan bahwa ujian yang dihadapi, tidaklah melebih batas kemampuan manusia itu sendiri. Maka bagi ayah yang ujiannya hebat, berarti kalian dipercaya kehidupan dengan kekuatan yang lebih hebat.
Masa paceklik para ayah, sangat bisa menjadi kesempatan pembuktian. Bahwa kalian tetap menjalankan keamanahan, dengan tetap berupaya sebaik-baiknya. Yaitu menciptakan kebahagiaan bagi istri, dengan sebisa usaha. Tetap menumbuhkan senyum di bibir istri, meski diri sedang merana.
Dengan berlaku demikian, kalian telah meneladani Kanjeng Nabi. Yaitu menjadi sebaik-baik laki-laki, yaitu yang paling baik kepada istrinya.
Semoga bermanfaat.