Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Menikah Berarti Mengurangi Separuh Hak

11 Juli 2024   10:32 Diperbarui: 11 Juli 2024   21:12 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu di beranda medsos, saya mendapati quote yang cukup unik. Yaitu, bahwa "Menikah berarti mengurangi separuh hak, dan melipatgandakan kewajiban" dari filsuf Arthur Schopenhauer. Saya mengaminkan quote tersebut, disatu sisi membuat berpikir lebih dalam.

Benar, bahwa menikah ibarat menyediakan diri. Menerima tanggung jawab baru, yang notabene lebih berat tantangannya. Bahwa memiliki istri/suami, kemudian memiliki anak-anak. Seperti melipatgandakan kewajiban, yang sama saja bakalan merepotkan diri sendiri.

Tetapi, ada yang sangat unik. 

Sebagian besar orang, bersedia menikah untuk hal tersebut. Buktinya kalau tiba lebaran haji, banyak tenda hajatan pernikahan berdiri. Baik di gedung maupun di rumah, gelaran resepsi beruntun diadakan.

------

sumber gambar ; cahayanabawi.com
sumber gambar ; cahayanabawi.com

Lagi-lagi, menikah itu sebenarnya unik. Disadari atau tidak, banyak kisah ketidakenakan menikah tersaji di medsos.

Mulai dari proses menuju menikah, tahapannya dibilang tidaklah instan. Laki laki dan perempuan, perlu waktu untuk menemukan. Ada yang musti menanti lama, ada yang dengan proses dijodohkan, dan lain sebagainya. Belum lagi, drama menjelang pernikahan, ada saja.

dokpri
dokpri

Laki-laki dewasa, musti berusaha keras menyakinkan hati calon istri dan keluarga besar. Kemudian setelah syah, suami punya tugas tidaklah ringan. Menunaikan kewajiban menafkahi, menampung keluhan dan tuntutan ini dan itu.

Pun perempuan dewasa yang sendiri, tak serta merta bersedia menerima pinangan lelaki. Musti penuh pertimbangan, menimbang calon imam yang memimpinnya di waktu yang panjang.

Setelah sah menjadi istri, musti melayani suami dengan baik. Melewati tahapan kehamilan, yang dari waktu ke waktu tidaklah ringan. Kepayahan itu bertambah, saat jabang bayi hendak lahir.

Seiring berjalannya waktu, suami istri dengan anak keturunan. Tentulah banyak hak (suami/ istri), musti dikorbankan demi kebaikan bersama. Suami istri saling mengalah, menjaga perasaan satu sama lain. Apalagi kepada anak-anak, mereka selalu menjadi prioritas dan diutamakan.

Dengan fakta sedemikian nyata, teRpampang di depan mata. Setiap anak bisa melihat sendiri, kehidupan pernikahan orangtua sendiri atau orang lain.

Uniknya, hal tersebut tak membendung keinginan orang untuk menikah. Sungguh unik.

Menikah Berarti Mengurangi Separuh Hak

Sebagai muslim dari lahir, saya sangat jauh dari kata sempurna. Ilmu kehidupan dimiliki, tidaklah genap sampai seujung kuku. Saya berusaha, sebisa dan semampunya belajar menjadi orang baik.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW, manusia sempurna suri tauladan seluruh umat. Segala tindak tanduk dan ucapan, sangatlah pantas menjadi acuan. Soal menikah, Kanjeng Nabi mencontohkan untuk umatnya.

Bagi saya pribadi, haqul yaqin sesuatu hal yang diteladankan Rasulullah pastilah mengandung kebaikan dan penuh manfaat.

Bahwa syariat (menikah) memang berat dijalani, tetapi niscaya akan berbuah manis. Selama pelakunya, mengiringi dengan mengilmui diri. Tak lepas berpegang pada tuntunan Nabi, taat dan menjalankan sepenuh hati.

(Dokumentasi Pribadi)
(Dokumentasi Pribadi)

Dalam hitungan bulan, pernikahan saya dan istri insyaallah menuju dua dasawarsa---alhamdulillah. Jatuh bangun, menangis tertawa, sempit lapang, gelisah pun lega, dan seterusnya dan seterusnya. Berdua telah kami kami alami, telah kami berdua lewati.

Di sepanjang perjalanan, tak terhitung kami musti menekan keinginan pribadi. Memupus habis ego diri, agar semua bisa berlangsung dengan baik. Di benak kami dipenuhi tentang anak-anak, itu yang selalu diprioritaskan. Apalah saya, yang semakin menua. Rasanya tak ingin meninggalkan hal buruk, di benak istri dan anak-anak.

Di awal-awal, tentu penuh perjuangan beradaptasi. Percikan emosi dan persinggungan terjadi, ribut-ribut kecil meletup. Tetapi ketika ingat janji saat ijab, emosi berangsur mereda. Bahkan untuk sekadar hak, saya telah meniadakan itu di hadapan istri dan anak-anak.

Lagi-lagi, awalnya memang ada kontradiksi dibenak. Tetapi setelah dipikir lebih mendalam, dibalik ketidakenakan (menikah) pasti ada kebaikan.

----

Menikah ibarat kawah candradimuka, yang meleburkan segala ego, menepiskan keinginan pribadi. Agar menjadi pribadi lebih wise, melihat dan mengelola kehidupan. Namanya juga proses peleburan (ego), makanya tidak mudah dan tidak sebentar.

Betul, menikah berarti mengurangi separuh hak dan melipatgandakan kewajiban. Tetapi ketika menerima hal tersebut, dengan sudut pandang syariat. Niscaya, kita akan rela dan merelakan diri, untuk menjalani segala ketidakenakan itu.

Dengan senang hati, memupus keinginan sendiri. Meski uang yang semasa bujang, digunakan untuk kesenangan sendiri, membeli barang kesukaan. Setelah menikah, sama dengan mengikatkan diri tak seleluasa itu.

Lelaki yang suami dan ayah akan ikhlas, dilipatgandakan kewajiban. Memikul amanah menafkahi dan membimbing anak istri. Dalam kurun waktu panjang, selama nafas dikandung badan. Meski harus ekstra keras berusaha, dibela-belain tidak jenak makan hasil keringatnya.

Karena haqul yaqin, sesuatu (menikah) yang menjadi syariat. Pasti akan membuahkan kebaikan, bagi pelakunya.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun