Di awal-awal, tentu penuh perjuangan beradaptasi. Percikan emosi dan persinggungan terjadi, ribut-ribut kecil meletup. Tetapi ketika ingat janji saat ijab, emosi berangsur mereda. Bahkan untuk sekadar hak, saya telah meniadakan itu di hadapan istri dan anak-anak.
Lagi-lagi, awalnya memang ada kontradiksi di benak. Tetapi setelah dipikir lebih mendalam, dibalik ketidakenakan (menikah) pasti ada kebaikan.
----
Menikah ibarat kawah candradimuka, yang meleburkan segala ego, menepiskan keinginan pribadi. Agar menjadi pribadi lebih wise, melihat dan mengelola kehidupan. Namanya juga proses peleburan (ego), makanya tidak mudah dan tidak sebentar.
Betul, menikah berarti mengurangi separuh hak dan melipatgandakan kewajiban. Tetapi ketika menerima hal tersebut, dengan sudut pandang syariat. Niscaya, kita akan rela dan merelakan diri, untuk menjalani segala ketidakenakan itu.
Dengan senang hati, memupus keinginan sendiri. Meski uang yang semasa bujang, digunakan untuk kesenangan sendiri, membeli barang kesukaan. Setelah menikah, sama dengan mengikatkan diri tak seleluasa itu.
Lelaki yang suami dan ayah akan ikhlas, dilipatgandakan kewajiban. Memikul amanah menafkahi dan membimbing anak istri. Dalam kurun waktu panjang, selama nafas dikandung badan. Meski harus ekstra keras berusaha, dibela-belain tidak jenak makan hasil keringatnya.
Karena haqul yaqin, sesuatu (menikah) yang menjadi syariat. Pasti akan membuahkan kebaikan, bagi pelakunya.
Semoga bermanfaat.