Pun perempuan dewasa yang sendiri, tak serta merta bersedia menerima pinangan lelaki. Musti penuh pertimbangan, menimbang calon imam yang memimpinnya di waktu yang panjang.
Setelah sah menjadi istri, musti melayani suami dengan baik. Melewati tahapan kehamilan, yang dari waktu ke waktu tidaklah ringan. Kepayahan itu bertambah, saat jabang bayi hendak lahir.
Seiring berjalannya waktu, suami istri dengan anak keturunan. Tentulah banyak hak (suami/ istri), musti dikorbankan demi kebaikan bersama. Suami istri saling mengalah, menjaga perasaan satu sama lain. Apalagi kepada anak-anak, mereka selalu menjadi prioritas dan diutamakan.
Dengan fakta sedemikian nyata, teRpampang di depan mata. Setiap anak bisa melihat sendiri, kehidupan pernikahan orangtua sendiri atau orang lain.
Uniknya, hal tersebut tak membendung keinginan orang untuk menikah. Sungguh unik.
Menikah Berarti Mengurangi Separuh Hak
Sebagai muslim dari lahir, saya sangat jauh dari kata sempurna. Ilmu kehidupan dimiliki, tidaklah genap sampai seujung kuku. Saya berusaha, sebisa dan semampunya belajar menjadi orang baik.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW, manusia sempurna suri tauladan seluruh umat. Segala tindak tanduk dan ucapan, sangatlah pantas menjadi acuan. Soal menikah, Kanjeng Nabi mencontohkan untuk umatnya.
Bagi saya pribadi, haqul yaqin sesuatu hal yang diteladankan Rasulullah pastilah mengandung kebaikan dan penuh manfaat.
Bahwa syariat (menikah) memang berat dijalani, tetapi niscaya akan berbuah manis. Selama pelakunya, mengiringi dengan mengilmui diri. Tak lepas berpegang pada tuntunan Nabi, taat dan menjalankan sepenuh hati.
Dalam hitungan bulan, pernikahan saya dan istri insyaallah menuju dua dasawarsa---alhamdulillah. Jatuh bangun, menangis tertawa, sempit lapang, gelisah pun lega, dan seterusnya dan seterusnya. Berdua telah kami kami alami, telah kami berdua lewati.