Bagi pasangan penganten baru, niscaya semua kan terasa indah. Hari-hari dipenuh sesaki kebahagiaan, nikmatnya mereguk bulan madu seutuhnya. Kemana pergi selalu berdua, nempel kayak perangko dan dimabuk cinta.
Suami rutin berkabar di mana berada, bersedia menanggapi keluhan istri dengan suka cita. Pun istri dengan sikap manja mesra-nya, ditanggapi sang suami dengan bumbu keisengannya.
Ah, indahnya penganten baru. Saya masih merasakan, bunga bermekaran di sanubari.
Seiring berjalannya waktu, maka liku-liku kehidupan mulai menyapa dan dirasa. Suami mengemban tugas pencarian nafkah, penuh tantangan menguras tenaga dan pikiran. Istri berjibaku dengan tugasnya di rumah, tak kalah membosankan.
Tagihan listrik dan air musti dibayarkan, tak boleh sampai lewat tanggal ditetapkan. Persediaan beras, minyak, gula, dan bahan makanan musti tetap dipenuhi. Karena ada perut yang musti diisi, agar hari ke hari bisa dilewati.
Tak ayal, pikiran dan konsentrasi bercabang-cabang. Waktu suami istri bermanja mesra, semakin sempit dan sedikit. Bergelut dengan rutinitas keseharian, berpeluh terik dan kebisingan jalanan. Tuntutan ini dan itu berdatang, menjadi kewajiban musti diselesaikan.
Suami istri tetaplah wajib menjalin komunikasi, saling support satu dengan yang lain. Apalagi kalau sudah ada buah hati, merekalah kan menjadi prioritas. Anak-anak musti diantar, menuju gerbang dewasa dan mandiri.
Menikah dengan segala masalahnya, membuka banyak kesempatan akan pemahaman baru. Dan nyatanya, bahwa menikah tidak semata untuk bahagia. Ada tujuan lebih dari menikah, lebih dari sekadar bahagia.
---
Sepengalaman saya, tahun kesatu sampai kelima pernikahan lumayan effort. Ibarat masa adaptasi yang challenging, kedua belah pihak (suami istri) berkesempatan saling mengenal. Kemungkinan untuk terkaget-kaget pasti ada, mendapati kebiasaan pasangan yang tak sesuai ekspektasi.
Masa awal pernikahan, tak ada lagi ruang untuk ber-jaim (jaga image) diri. Jati diri pasangan, perlahan tapi pasti akan terkuak dengan sendiri. Bisa jadi berupa perangi mengesalkan, percikan ego yang tak diduga, tak peka dan kurang kontrol sikap dan sebagainya.
Suka tidak suka, menyangkal ataupun tidak disangkal, suami dan istri musti bersedia menerima konsekwensi. Konsekwensi menerima kelebihan apalagi kurangan, karena manusia tempatnya salah dan dosa.
Sangat dibutuhkan latihan mengelola ego, agar benturan-benturan ide dan keinginan bisa diminimalisir. Meski tidak bisa dihilangkan sama sekali, mengalah bisa menjadi cara meredam kemarahan.
Percayalah, tiada suami dan atau istri yang sempurna. Tetapi selama masih bisa ditolerir, sebaiknya tidak usah dibesar-besarkan kesalahan. Mari mendewasa, agar mendapati diri memegang ilmu pemakluman.
Selama tidak menyangkut penyimpangan akidah, selama tidak merusak kesetiaan dan kepercayaan. Artinya sang belahan jiwa, berada di ruang yang aman. Maka pertahankan, maka berkomitmenlah untuk menua bersama.
Perjalanan kehidupan pernikahan, tidak selalu bertabur bunga bahagia. Tetapi yakinlah, bahwa dari pernikahan akan banyak hal baik bisa dipetik. Suami istri musti terus erat bergandengan, dalam masa surut maupun pasang. Suami dan atau istri musti saling support, berjalan bersama dalam segala cuaca kehidupan. Â
Menikah tidak Semata untuk Bahagia
Dari Abdullah bin Mas'ud RA, Rasulullah SAW bersabda ; Artinya, "wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemalian. Sementara siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa".
Saya terkesan dengan satu hadist, tentang anjuran menikah yang disabdakan Kanjeng Nabi. Saya meyakini sepenuhnya, pasti banyak kebaikan di dalam pernikahan. Ketika Rasulullah SAW manusia sempurna, sampai menganjurkan pada umatnya.
Pernikahan pada prakteknya, memang tidak ringan dan gelombangnya besar. Ibarat musti menangis habis air mata, merintih sehabis kata. Suami istri disampaikan, pada fase pasrah sepasrahnya jatuh sejatuhnya. Sampai seolah bahagia tak berpihak, seolah hidup bergelimang duka.
Tetapi sekali lagi, saya sangat meyakini. Seberat apapun menjalani syariat menikah, kan terkandung hikmah luar biasa. Jikalau ditunaikan dengan sepenuh hati, jikalau dijalankan sekuat upaya.
Niscaya pintu keajaiban akan terbuka, dan tibalah pada jalan keluar dari arah yang tak disangka. Dan itulah yang saya terjemahkan, lebih dari sekadar bahagia.
Dan benar adanya, menikah tidak semata untuk bahagia. Tetapi mendewasa bersama, berproses bersama, menuju sejatinya bahagia. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H