Ada kebiasaan saya hapal di kampung, pada malam di akhir pekan jelang sholat isya. Para bocil bermain di badan jalan, pejalan kaki atau motor musti pelan. Mereka main petak umpet, benteng atau berlari-larian.
Tak jauh dari para anak yang bermain, ada sekelompok emak duduk berkelompok dan ngobrol seru. Mereka mengambil poisisi nyaman, entah di teras atau di pojok halaman. Kemungkinan nih, beberapa emak adalah orang tua dari anak yang bermain.
Sembari ngumpul sembari ngobrol sekalian mengawasi anaknya. Rasanya semakin nyata kata pepatah, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Ada satu atau dua anak, bergeser mendekati ibunya. Entah apa yang disampaikan, tiba-tiba terdengar suara melengking. "Nggak ada duit, bocah maunya jajan mulu"
Nggak Ada Duit, Bocah Maunya Jajan Mulu
Sebagai orangtua, dengan dua anak sudah besar. Bisa dibilang, saya juga merasakan asam garam kehidupan. Paham tantangan mendidik dan mengasuh anak-anak, yang memantik emosi kadang membuncahkan rasa sayang.
Saya juga merasakan pergiliran keadaan, pernah di situasi lapang pun di kondisi sempit. Saya dituntut lebih berhemat, agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Namanya kehidupan, naik turun, jatuh dan bangun adalah hal wajar dan musti dihadapi.
Justru dari suka dan duka, dari keadaan terpuruk kemudian bangkit. Yang akan membentuk mental seseorang, menjadi pribadi yang tangguh. Menjadi dewasa, bisa mengelola emosi dan mengendalikan ego. Tidak lekas jumawa saat berjaya, tidak gampang patah arang saat terjatuh.
Dari semua kejadian kehidupan, kita musti bisa mengambil hikmah. Agar lebih berhati-hati bersikap, mengambil keputusan, dan apalagi berucap. Mengingat ucapan sangat mudah dilontarkan, apalagi dalam kondisi marah atau emosi.
Kata-kata, sangat bisa menjadi kenyataan. Apalagi keluar dari mulut ibu, diucapkan dalam keadaan tertentu. Entah saat tertekan, entah saat terpojok atau terpuruk, atau saat merasa terdholimi.