Di usia yang tidak muda ini, tantangan soal pekerjaan semakin berat. Saya di kategori lansia awal, terkendala terkait proses alami. Yaitu pemberlakuan batasan umur (biasanya maks 35 th), untuk sebagian besar lowongan pekerjaan.
Saya sangat maklum, dan tidak menyalahkan aturan ditetapkan perusahaan. Management pasti memasang target ideal, merekrut darah muda dengan ide-ide cemerlang. Kita yang dituntut lebih ulet, mencari dan atau bahkan menciptakan peluang.
Ya, di usia tidak muda, rasanya lewat sudah masa saya. Berburu lowongan pekerjaan, mengirim ke sana ke sini di banyak tempat. Atau kalaupun berusaha mencari pekerjaan, mungkin caranya yang berbeda. Tidak bisa cara lama, digunakan untuk menghadapi masa sekarang.
Ada teman senior, beruntung bisa ngantor setelah vakum lama. Yaitu dengan memanfaatkan jaringan pertemanan, yang tahu kapabilitas kawan beruntung ini. Alhasil beliau ke kantor, saat anak semata wayangnya lulus perguruan tinggi.
Kompasianer's, saya tidak sedang membanding-bandingkan.
Toh setiap orang dengan takdirnya, melewati garis hidupnya sendiri-sendiri. Mungkin cara orang lain bisa dicontoh, tetapi hasil yang tidak bisa ditiru.
Ibarat dua penjual bubur ayam, yang gerobaknya tidak berjauhan. Bahwa yang dijual sama-sama bubur, jam bukanya juga sama. Belanja bahan di pasar dan toko yang sama, resep dan harga dibandrol juga sama.
Tetapi siapa bisa menjamin, bahwa rejeki yang didapatkan masing-masing penjual bubur akan sama. Demikian juga penjual nasi uduk, pemandu wisata, penjual jasa angkat barang di stasiun, dan seterusnya dan seterusnya.
----
Kalau mau digolongkan, saya termasuk generasi X. Sebentar lagi umur setengah abad, semoga sehat dan panjang umur-aamiin.
Sebagai suami dan ayah, saya punya tanggung jawab atas amanah kehidupan. Yaitu menafkahi istri dan anak-anak, berjuang agar senyum itu tetap merekah. Meski nyawa jadi taruhan, karena di situ harga diri sebagai lelaki teruji.
Segala cara asalkan baik akan saya tempuh, agar bisa survive di segala keadaan. Bahwa tekad ini harus teguh, mengantar anak hingga dewasa dan hidup mandiri. Perjuangan yang berat memang, tetapi saya tidak menyerah.
Saya berusaha menghadapi jaman, dengan beradaptasi sebisanya semampunya. Agar tetap dipercaya orang, tetap berkenan menggunakan jasa saya.
Semasa dunia blogging booming, saya menulis di Kompasiana dan punya blog pribadi. Pun membuat akun di blog keroyokan yang lain, sesuai kategori diinginkan pemesan tulisan. Kemudian di era sosmed, saya aktif di beberapa platform.
Saya memanfaatkan facebook, twitter, youtube, untuk menambah portfolio. Kemudian membuat akun instagram, belakangan mulai merambah tiktok. Dan kini era video pendek booming, mau tak mau saya mengikuti.
Atas keputusan tersebut, saya berkawan dengan generasi di bawah saya. Mereka konten kreator seumuran keponakan, kerap satu pekerjaan di project yang sama. Saya membuka diri, belajar pada mereka yang expert (meski lebih muda).
Meski dari sisi pengalaman hidup saya lebih dulu, tapi soal skill bukan jaminan. Dan untuk itu, saya musti banyak menahan diri. Sebisa mungkin mengelola ego, tak merasa senior dan tetap berbaur dengan yang muda.
Bertahan di Tengah Perkembangan Jaman
Â
Ada saatnya saya merasakan capek, terseok- seok mengikuti perubahan yang serba cepat. Tapi mau tak mau, saya musti terus menyesuaikan diri. Karena kalau tidak begitu, saya tidak bisa bersaing dengan generasi sekarang.
Soal menang dan kalah dalam persaingan, soal belakangan. Yang penting saya punya kemampuan dan kemauan, yang bisa dijadikan senjata menghadapi tantangan.
Saya meyakini, bahwa setiap orang diberi pembawaan yang unik. Keunikan satu dengan yang lain, tidak bisa diduplikasikan. Maka keunikan itu, yang musti ditonjolkan karena mustahil dimiliki orang lain.
Seperti menulis, membuat video, atau berkarya di bidang kreatif lainnya. Meskipun tema yang dibuat sama, tetapi pov (point of view) --nya pasti berbeda. Dan hal itu, yang membuat saya tidak kecil hati. Meski sudah tidak muda, meski harus bersaing dengan yang muda.
Karena tugas setiap kita, bertahan di tengan perkembangan jaman. Soal hasil, sama sekali bukan kita yang menentukan. So, tetap semangat Kompasianer's.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H