Kisah toleransi ini, terjadi saat angka covid sedang naik-naiknya. Saya dan teman-teman, menggawangi komunitas Kompasianer's Tangerang Selatan Plus (Ketapels). Kami mencari cara, agar komunitas tetap punya kegiatan meskipun tanpa berkumpul.
Tercetus ide membuat kegiatan online, berupa obrolan komunitas. Ketika itu menggunakan platform youtube, menghadirkan narsum Kompasianer's yang tinggal di luar negeri. Kami memutar otak, agar kegiatan bisa berjalan sesimple mungkin.
Teknisnya saya kirim email berisi daftar pertanyaan, narsum menjawab dengan merekam dirinya di video. Kami admin menjadi pewawancara, merekam diri membaca pertanyaan. Kemudian dua video dirender, seolah wawancara langsung jarak jauh.
Tak berhenti sampai di situ, pengurus komunitas berkreasi dengan kegiatan yang lain. Kami namai Anjangsana Ketapels, yaitu mengunjungi tempat ibadah di daerah Tangerang Selatan. Menyumbang sabun cuci cair, benda yang sangat dibutuhkan di masa itu.
Berkegiatan di tengah masa pandemi, tentu ada saja banyak tantangannya. Karena ada keterbatasan ke luar rumah, maka terbit pelarangan kegiatan berpotensi menimbulkan kerumunan. Sehingga mau tak mau, saya melakukan sendiri. Dari belanja sabun cuci, mencari tempat ibadah sampai menyerahkan sumbangan.
---
Di program obrolan komunitas, kami para admin bisa kolaborasi. Misalnya admin A ditunjuk sebagai pewawancara, di episode pertama. Kemudian di episode berikutnya, ganti admin yang lain. Di awal program, saya bertindak sendiri juga. Baru di episode ket empat/ lima, saya sebagai konseptor bertugas di belakang layar.
Dan respon Kompasianer's di luar negeri sangat membungahkan. Mbak Dina di Perancis, Mas Dhany di Hongkong, mas Fahmi di Dubai, Mbak Evelyn di Turki, Mas Iswadi di Roma Italy. Mereka sangat korporatif, manut dengan jadwal saya tetapkan.
Tema diangkat kala itu, tentang keadaan pandemi di kota meraka tinggal. Kondisinya nyaris sama, pemberlakuan PPKN sama seperti di Indonesia.