Bayangkan Kompasianer's, berapa ratus kilometer pedal becak dikayuh sang ayah. Demi membayar uang kuliah putri kesayangan, agar bisa tepat waktu dan tidak menunggak. Berapa banyak keringat musti diperas, sehingga perkuliahan anaknya berjalan lancar.
Pun Raeny, pasti tidak ingin mengecewakan orangtua. Melihat perjuangan sang ayah, tentulah memantik semangat mempersembahkan yang terbaik. Sehingga jerih payah mbecak sang ayah, akan berbuah manis di hari depan.
Ya, bahwa ada harga yang musti dibayar untuk pencapain itu. Harga yang tidak murah, dengan nominal yang bahkan tak ternilai harganya.
Harga itu berupa kesabaran yang luas, ketekunan yang panjang, keteguhan yang kokoh, tak enggan melawan rasa bosan. Proses yang dilakukan Raeny dan orangtuanya, demi menggapai cita-cita bersama.
Bahwa Ada Harga yang Musti Dibayar
Setiap orang, sejatinya sedang menjalankan "transaksi" dengan kehidupan. Karena demikian esensi kehidupan, diciptakan dengan kandungan hikmah yang luar biasa.
Bagi yang sehari-hari, membayar hidupnya dengan bermalas-malasan, sama sekali tidak punya inisiatif. Maka yang didapatkan bakal setimpal, dengan apa yang telah dilakukan.
Pun sebaliknya, bagi yang mengisi harinya dengan terus belajar dan bekerja keras. Tidak lekas menyerah kalah, atas setiap kegagalan yang dialami.
Maka kehidupan akan memberi hasil, sepadan dengan yang telah dibayarkan. Meski waktu pembayaran itu tak dijamah pikiran, sehinggi membutuhkan kesabaran tak bertepi.
Sementara waktu terus melaju, setiap orang telah mendapat jatahnya sendiri-sendiri. Waktu hanya lewat sekali, tidak bisa ditarik mundur. Sungguh, setiap kita sedang berhitung dengan waktu. Sampai nafas di ujung, hingga tiba saat berpulang.
Maka yang memanfaatkan waktu, dengan sebaik-baik kegiatan. Mereka orang-orang beruntung, berada di barisan yang tepat. Meski ujian terus menggempur, agar si manusia berbelok arah dan menyerah kalah.