Ayah berpulang, satu tahun setelah saya bungsunya menikah. Sempat sekali bertemu dan menggendong, cucu pertama dari saya. Kalau merindukan ayah, saya merunut kejadian masa kecil tentang beliau.
Ayah, guru SD dengan penghasilan tak seberapa. Sangat lekat dengan kesederhanaan, jauh dari sifat foya-foya bermegah-megahan. Gaji bulanan diserahkan semua pada istri, sepulang mengajar membantu menggarap sawah mertua (kakek saya dari garis ibu).
Sungguh banyak alasan, membuat saya mengidolakan almarhum. Setelah menyadari, bahwa yang dilakukannya dulu bukti tanggung jawab yang besar.
Ayah rela menempuh pematang sawah, jalan kaki menuju desa tetangga (tempatnya mengajar). Hal yang dilakukan bertahun-tahun, karena motor tua satu-satunya dipakai sulungnya kuliah.Â
Ayah sengaja tidak makan di acara rapat sekolah, satu kotak snack bagiannya dibawa pulang untuk saya. Ayah rela menahan keinginannya, demi membelikan tas sekolah anaknya.
Dengan kondisi keuangan terbatas, ayah (dan ibu tentunya) sebisanya menunaikan tanggung jawab. Menyekolahkan anak-anak, hingga lulus perguruan tinggi. Meskipun untuk hal besar itu, keduanya musti pontang-panting mencari utang.
Menjadi semestinya ayah, adalah menjadi ayah yang mengemban tanggung jawab. Menunaikan tugas menafkahi keluarga, melindungi istri dan anak-anak, mendidik dan mengantarkan anak-anak hingga mandiri.
Setiap ayah, niscaya akan dimampukan menunaikan tugasnya. Asal dibarengi kesungguhan, terus menguatkan niat yang tulus ikhlas. Ayah musti menyediakan diri, melewati semua proses hidup, seberat dan seribet apapun itu.
Meyakini tugas keayahan yang luar biasa itu, sejatinya bisa menjadi jalan menuju mulia. Dan algoritma kehidupan akan berpihak, pada orang yang bersungguh-sungguh. Bahwa untuk setiap niat baik ayah, pasti akan terbukakan jalan. Melalui pintu tak terduga, melalui kesempatan yang datang tiba-tiba.
Ayah yang baik dan bertanggung jawab, adalah yang menunaikan tugas ayah. Yaitu menjadi semestinya ayah. Semoga bermanfaat.