Saya yakin, dunia per-julid-an selalu ada di setiap masa---hehehe. Dari jaman serba manual, sampai jaman yang dibilang serba digital saat ini. Secanggih apapun masa, sifat manusianya tidak berubah. Yaitu tetap dibekali ego, memiliki nafsu, dan tergoda dengan sifat tidak terpuji lainnya.
Itulah, yang akan membedakan satu (manusia) dengan yang lain. Tentang pengelolaan ego, tentang mengunggulkan sikap baik dan simpati. Hal-hal yang dipengaruhi, oleh perjalanan dan pengalaman hidupnya.
Kesaksian saya (soal julid) bisa dibilang valid, saya buktikan dan rasakan sendiri. Mulai dari pengalaman pribadi, sampai melihat dan mendengar kisah orang lain.
Kejadian julid dialami teman sepantaran masih membujang, teman sekantor, se-komunitas, se-pergaulan, adik kelas, keponakan, atau kenalan yang usia melewati tigapuluh tahun. Mereka adalah penerus saya, sedang mendapat giliran merasakan dijulidin.
Jengahnya, keselnya, sebelnya, merahnya kuping. Sungguh, saya dulu mengalami. Pernah ada kejadian, saya sampai tidak berani mudik lebaran. Demi menghindari kumpul dan ketemu keluarga besar, demi tidak mendengar pertanyaan-pertanyaan menyebalkan.
----
Adalah pertanyaan "Kapan nikah".
Sebenarnya sih, tak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Â Tetapi waktu dan tempat yang tidak tepat, membuat pertanyaan itu terasa menghunjam. Ditambah nada menyelidik, gesture tak bersahabat, sorot mata menelisik, mimik muka kecut, seringai tak ramah dimunculkan.
Cukuplah semuanya menjadi kesimpulan, bahwa ada niat jahat di benak si penanya. Nada julid penuh muslihat itu, niscaya sangat dirasakan orang yang ditanya. Aroma tak sedap dan maksud menjatuhkan, tak bakalan bisa disembunyikan. Â
Kalimat yang membuat hati remuk, berpotensi menaburkan benih putusnya komunikasi. Bagi jiwa yang tak peka, biasanya akan menyesal di kemudian hari. Dan nyatanya, pertanyaan semisal bisa melintasi masa. Orang dengan karakter julid, seperti mewarisi dari generasi ke generasi.
Lalu apa untungnya, bertanya kapan nikah?
----
Saya pernah diposisi dijulidin, di masa berusaha menemukan pendamping hidup. Sikap julid datang dari mana saja, dari teman yang semula baik-baik saja. Hingga pada moment tertentu, akhirnya ikut-ikutan reseh. Dari saudara yang semula dekat, tiba-tiba menjadi orang sangat nyebelin.
Perubahan sikap itu saya rasakan, terjadi karena sebab mirip-mirip. Teman baik yang berubah, terjadi setelah target pekerjaan saya tercapai. Saudara baik yang mendadak berubah, setelah tahu saya bekerja dengan poisisi karir lebih baik di kantor baru.
Meski mereka tidak mengucapkan alasan itu, sebagai obyek tersakiti saya bisa menyimpulkan perubahan drastis itu. Bisa merunut sebab perubahan, sehingga sikap julid muncul. Dan semakin dibiarkan, niat menjatuhkan itu ditunjukkan terang-terangan.
Di acara kumpul geng kantor, teman (yang semula baik) nyeletuk membahas kesendirian saya. Pun saudara usia lebih tua ini, menjatuhkan saya di acara kumpul keluarga besar. Rasa sakit yang membekas, meski saya telah berusaha melupakan.
Hikmah dijulidin, saya rasakan setelah menikah. Saya tidak ikut-ikutan reseh, pada teman berumur yang single. Cukuplah perasaan tidak nyaman dari orang lain, tidak saya tambah-tambahi.
Kalaupun ada temen (masih jomlo), minta pendapat, pertimbangan atau bantuan. Saya baru bersedia urun saran, sebatas pengalaman atau sikap saya alami.
Lalu Apa Untungnya, Bertanya Kapan Nikah ?
Kompasianer's, mari berpikir jernih sebelum bertindak. Betapa sama sekali tidak ada untungnya, bertanya kapan nikah. Menikahnya teman atau kenalan, sama sekali tidak berdampak pada si penanya.
Apalagi yang ditanya, sekadar teman yang kenal sekilas. Bertanya pada tetangga, ketemunya sesekali dan sekedar sapa. Atau pada saudara sudah dewasa, masing-masing punya tanggung jawab dan urusan sendiri.
Please, tidak usah usil dan julid. Sikap tidak terpuji itu, cepat atau lambat akan merugikan diri sendiri. Yang ada, si penanya dijauhi. Susah mendapat pertemanan yang sehat, berkurang orang untuk diajak seseruan.
Kecuali jomlowan/ wati, membuka diri dinasehati. Artinya kita dipercaya, menjadi teman ngobrol, diskusi dan mencari solusi. Kepercayaan ini jangan sampai dikhianati, musti dijaga dengan sebaik-baiknya.
Bertanya hanya saat situasi memungkinkan, di tempat yang kondusif dan aman. Â Menunjukkan sikap empati, menawarkan diri membantu mencarikan kenalan. Dan kita tetap komit, berjanji unntuk menjaga rahasia.
Kalau kita menjadi jalan jodoh orang lain, yakinlah kebaikan itu terpatri. Seperti saya dan istri, tidak bakalan lupa kebaikan teman yang dulu mencomblangi kami. Seperti halnya, tidak lupa pada orang julid yang membuat hati remuk.
Menjadi tantangan orang dijulidi, berusaha menjadi orang sabar. Belajar memaafkan, orang yang pernah membuka aib dengan terang-terangan---wallahu a'lam bishowab. So, lalu apa untungnya bertanya kapan nikah? Jawabnya, TIDAK ADA UNTUNGNYA ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H