Kalimat yang membuat hati remuk, berpotensi menaburkan benih putusnya komunikasi. Bagi jiwa yang tak peka, biasanya akan menyesal di kemudian hari. Dan nyatanya, pertanyaan semisal bisa melintasi masa. Orang dengan karakter julid, seperti mewarisi dari generasi ke generasi.
Lalu apa untungnya, bertanya kapan nikah?
----
Saya pernah diposisi dijulidin, di masa berusaha menemukan pendamping hidup. Sikap julid datang dari mana saja, dari teman yang semula baik-baik saja. Hingga pada moment tertentu, akhirnya ikut-ikutan reseh. Dari saudara yang semula dekat, tiba-tiba menjadi orang sangat nyebelin.
Perubahan sikap itu saya rasakan, terjadi karena sebab mirip-mirip. Teman baik yang berubah, terjadi setelah target pekerjaan saya tercapai. Saudara baik yang mendadak berubah, setelah tahu saya bekerja dengan poisisi karir lebih baik di kantor baru.
Meski mereka tidak mengucapkan alasan itu, sebagai obyek tersakiti saya bisa menyimpulkan perubahan drastis itu. Bisa merunut sebab perubahan, sehingga sikap julid muncul. Dan semakin dibiarkan, niat menjatuhkan itu ditunjukkan terang-terangan.
Di acara kumpul geng kantor, teman (yang semula baik) nyeletuk membahas kesendirian saya. Pun saudara usia lebih tua ini, menjatuhkan saya di acara kumpul keluarga besar. Rasa sakit yang membekas, meski saya telah berusaha melupakan.
Hikmah dijulidin, saya rasakan setelah menikah. Saya tidak ikut-ikutan reseh, pada teman berumur yang single. Cukuplah perasaan tidak nyaman dari orang lain, tidak saya tambah-tambahi.
Kalaupun ada temen (masih jomlo), minta pendapat, pertimbangan atau bantuan. Saya baru bersedia urun saran, sebatas pengalaman atau sikap saya alami.
Lalu Apa Untungnya, Bertanya Kapan Nikah ?