Hujan akan turun saat batang hendak layu, embun akan datang saat daun kehausanÂ
"Max Havellar"
Saya mengenal dengan cukup baik, sepasang suami istri. Dari keduanya baru menikah, sampai sekarang anak semata wayangnya sudah diwisuda. Keduanya berasal dari kalangan kebanyakan, rakyat kecil terbatas akses pencarian nafkah.
Saya yang berjarak usia empat/ lima tahun di bawahnya, menjadi saksi perjalanan hidup keduanya. Lelaki lulusan SMA, segala pekerjaan coba dilakoni. Pernah ikut di proyek jalan raya, sebagai tenaga angkut adukan semen. Tidak bertahan lama sebagai kuli angkut semen, konon upahnya ditilep sang mandor.Â
Sebagai suami yang bertanggung jawab, mencoba peruntungan di bidang lain sebagai sales sirup botol. Saban hari keliling kota Bogor, menyusuri warung demi warung sembako di kampung. Sistem titip barang dilakukan, dua tiga hari diambil uang barang yang laku terjual. Â Meski lagi-lagi, pekerjaan ini tidak bertahan lama dijalani.Â
Ada pedagang yang berlaku nakal, Sirup tidak dijajakan hasil barang laku tak kunjung diberikan. Alhasil si sales musti nombok, kepada perusahaan rumahan yang mempekerjakan.
Kemudian suami istri berunding, dan memutuskan untuk pulang kampung ke Jawa. Mengajak serta istri dan anak, meninggalkan fasilitas diberikan  mertua. Sebenarnya ada pemicu tak kalah krusial, yaitu sikap saudara ipar yang semena-mena. Terang-terangan membedakan, perlakuan kepada anak pasangan muda ini.
Pulang dan menumpang di rumah orangtua, menjadi keputusan berat yang diambil. Ujian baru dihadapi, adalah konflik istri dan ibu (mertua) terjadi. Â Orangtua (mau tak mau) menanggung beban, memberi makan anak menantu dan cucu. Ditambah gerutuan yang sangat tak mengenakkan di telinga.
Di kampung halaman, mendapatkan pekerjaan tidak semudah membalik telapak tangan. Segala cara dijalani, sampai ada satu masa pahit musti dilewati. Â Ayah muda tak kunjung mendapat pekerjaan, menganggur tanpa bisa berbuat banyak. Istri yang mulai jengah, menjadi tukang masak di rumah tetangga. Tak peduli omongan orang, yang penting bekerja dan mendapat hasil meski kecil.
-----
Kompasianer. perjuangan hidup setiap orang sesungguhnya unik dan menarik. Masing-masing dengan liku-liku berbeda, tetapi membutuhkan effort yang tak terkira. Mengarungi ujian kehidupan, sungguh menguras tenaga dan pikiran.
Teman-teman Kompasianer's, mungkin pernah di fase hidup penuh keprihatinan. Musti berhemat sebisanya, agar tetap bertahan dari hari ke hari. Menahan diri membeli ini dan itu, agar setidaknya tetap bisa makan. Dan pengalaman- pengalaman pahit lain, yang membuat merasa nelangsa.
Pun saya, tak luput dari kejadian memilukan. Yaitu berada di fase kejatuhan, mencoba bangkit, tersungkur terpuruk, kemudian berusaha bangkit, bertahan mesti tampaknya stuck.
Saya juga pernah di fase, yang dikerjakan mendapat apresiasi tak dinyana. Sebagai marketing berhasil mencapai target perusahaan, bahkan tiga tahun berturut-turut melampaui. Bisa membeli kebutuhan utama keluarga, yaitu tempat tinggal impian.
Begitulah sunatullah kehidupan diberlakukan, semua keadaan ganti berganti dan dipergilirkan. Semua keadaan tak lebih sebagai ujian, menjadi ajang memroses manusia.
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar" (Al Baqarah ; 155)
Karena Perjuangan Sesungguhnya adalah Siapa yang Tahan Bersabar
Entahlah, bagaimana suami istri ini melampaui ujiannya. Saya tidak terlalu mengikuti, kecuali sesekali mendengar atau mendapat cerita. Â Saya juga sedang focus ke keluarga, menghadapi tantangan hidup sendiri.
Ketika itu pandemi baru saja melanda, tantangan pencarian nafkah sungguh luar biasa. Banyak pekerjaan dibatalkan sepihak, membuat pemasukan menjadi kacau. Mau tak mau mengandalkan tabungan yang ada, lama-lama menipis karena tidak kunjung diisi.
Sampai detik ini, kadang saya tidak menyangka. Bisa bertahan melewati masa sulit (pandemi), meski kondisi keuangan pernah sangat tertatih. Saat pandemi saya sempat sakit, bergantian dengan istri yang juga sempat sakit. Tabungan dikuras, saya tidak tahu musti berbuat apa.
Tetapi nyatanya, kini dua tahun masa pandemi dilalui. Alhamdulillah kami masih dikaruniai kesempatan hidup, bisa menghirup udara segar hari ini. Tetap bisa berkarya, demi menyambung tugas memakmurkan  semesta.
Sampai saya menemukan tulisan bagus di buku Max Havellar, yang sangat related dengan pengalaman saya lalui. "Hujan akan turun saat batang hendak layu, embun akan datang saat daun kehausan"
-----
Setahun lalu saya dibuat kaget, mendengar kabar suami istri ( di cerita di awal tulisan) berhasil mengantar anaknya wisuda. Tampak di foto dikirim (via WA), si anak memakai baju toga diapit ayah dan ibunya. Saya melihat rona bahagia, jelas terpancar dari wajah ketiganya.
Pasangan suami istri membuka warung di pasar di kampung, di depan rumah berjualan kelapa muda. Langganannya banyak, karena gula dipakai gula murni. Konon tidak pelit membungkus, air kelapa dikasih dengan berlebih.
Sewaktu pulang kampung, saya melihat sendiri antrean pembeli yang siap-siap berbuka puasa. Sungguh saya turut senang, melihat pencapain keluarga kecil ini.
Ya, perjuangan sesungguhnya, adalah siapa yang tahan bersabar. Sesungguhnya manusia lahir ke dunia, tidak memiliki atau membawa apa-apa. Kemudian menjalankan hari demi hari, menyediakan diri berproses di tengah kehidupan.
Nasehat ibu saya, bahwa modal orang hidup adalah sabar. Karena orang sabar, adalah orang yang tahan dan tekun menjalani proses kehidupan. Seharusnya kesabaran tak bertepi, karena sabar berbatas cakrawala.
Yang membatasi sabar adalah ego, masing-masing orang tidak sama batasnya. Semakin ego itu terkikis, maka jatah kesabaran akan bertambah. Karena perjuangan sesungguhnya adalah siapa yang tahan bersabar.- semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H