Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kalau Kesedihan Saja Bisa Dilewati Apalagi Kesenangan

16 Desember 2023   06:54 Diperbarui: 16 Desember 2023   07:35 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang, pasti punya jatah sedihnya sendiri-sendiri. Sedih atas aneka macam alasan, karena kondisi tidak ideal sedang dialaminya. Tetapi bahwa kesedihan hadir, sejatinya tidaklah sia-sia. Justru selepasnya, akan membentuk seseorang menjadi pribadi lebih arif.

Asalkan orang mengalami sedih, bisa mengelola agar tidak berlarut-larut. Mampu beradaptasi dengan situasi, sehingga menemukan dirinya dalam kelahiran yang baru. Bahwa hikmah dari sedih, adalah mengantarkan pada sikap tak dinyana.

----

Saya kenal muka (tidak kenal nama), dengan seorang bapak usianya sepantaran. Kami tidak satu lingkungan tempat tinggal, tapi sering ketemu di masjid di kampung. Rumah saya berhimpitan dengan kampung, tempat ibadahnya sangat mudah dijangkau.

Anaknya seusia anak saya, yang kalau keduanya ketemu suka bercanda. Seperti umumnya anak usia awal belasan, suka kejar-kejaran atau hal iseng wajar. Kami para ayah, tersenyum melihat keduanya kenal dan akrab.

Ketika masa pandemi (2020- 2021) datang, intensitas pertemuan kami jauh berkurang. Ibadah di masjid sangat dibatasi, bahkan ada masjid yang meniadakan ibadah sama sekali. Sholat fardhu, sholat jumat, sholat taraweh, terpaksa dikerjakan di rumah.

Kami warga sangat jarang ke luar rumah, kecuali sesekali kalau ada perlu. Pun saya dan si bapak, ketemunya secara tidak sengaja. Entah saat melintas di jalan, atau membeli keperluan di warung atau minimarket terdekat. Kalaupun ngobrol seperlunya saja, kalaupun melihat dari kejauhan hanya saling bertukar senyum.

dokpri
dokpri

Saya yakin Kompasianer's masih ingat, bagaimana situasi masa pandemi. Saya merasakan suasana mencekam, karena nyaris setiap hari mendengar kabar duka. Pernah dari pengeras masjid, tersiar kabar duka sampai tiga kali dalam satu hari.

Belum lagi kabar duka di medsos, ada kenalan, teman, nama-nama tak asing dikabarkan berpulang. Termasuk kabar duka di media, berpulangnya para pesohor. Sungguh pilu hati ini, menapaki hari demi hari kala itu. Saya punya saudara sepupu di kampung, suaminya meninggal di usia muda. Sementara dua anaknya masih kecil, sangat membutuhkan figure ayah. 

Duh, sedihnya masih berasa sampai sekarang.

Kalau Kesedihan Saja Bisa Dilewati Apalagi Kesenangan

Kemudian suasana pandemi mereda, perlahan tapi pasti kegiatan kembali normal. Tempat ibadah dibuka lagi, kami warga bisa beribadah ke masjid. Tak ayal, saya mulai sering ketemu si bapak. Kami ngobrol hal-hal ringan, penanda saling kenal (meski tak tahu nama).

Tetapi ada yang memantik rasa penasaran, si bapak pergi ke masjid lebih kerap terlihat sendiri. Tetapi saya masih menahan diri, untuk tidak mencari tahu lebih jauh. Hingga moment itu tiba, dan saya seperti keceplosan bertanya.

dokpri
dokpri

"Pak, B***l (anak si bapak) nggak pernah ikut ke masjid," tanya saya tiba-tiba.

Si Bapak tidak langsung menjawab, tetapi garis wajahnya mendadak berubah. Kejadian yang membuat saya, seketika merasa bersalah. Saya yang tidak tahu musti berbuat apa, semakin bingung melihat si bapak berusaha mengumpulkan energinya.

"Iya Pak, B***l sudah pergi sejak bulan desember di masa pandemi"

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun, turut berduka cita, Pak. Mohon maaf saya ketinggalan informasi ini," sungguh saya merasa bersalah, mengungkit kesedihan si bapak.

---

Tahun 2023 PPKM ditiadakan, kegiatan keseharian berangsur normal. Seperti sebelum pandemi, saya sering ketemu si bapak di Masjid kampung.  Ngobrol seperti biasa, layaknya obrolan bapack-bapack --hehehe.

Wajah si bapak tidak lagi memendam sedih, pertanda sudah berdamai dengan masa lalu.Saya melihat sikapnya jauh lebih berbeda (dalam arti postif), saat menanggapi guyonan bapak lainnya di masjid.

Kejadian semisal juga pernah saya dapati. Pada teman baik, saudara, pun ibu saya sendiri. Saudara sepupu yang suaminya meninggal, kini tampak lebih dewasa menyikapi kehidupan. Ibu saya yang sedihnya mendalam, saat ayah saya meninggal tahun 2006. Kini sudah mengikhlaskan, dan ibu lebih tekun beribadah. 

Pun beberapa teman saya kenal baik, menunjukkan sikap tak jauh beda. Bahwa seiring berjalannya waktu, akhirnya kesedihan bisa dilewati. Meski tetap saja menggoreskan pedih, yang (sangat mungkin) tidak terlupakan seumur hidup. Dan dari kesedihan, lazimnya akan menumbuhkan sikap lebih bijaksana pada diri seseorang.

Manusia sedemikian luar biasa diciptakan-NYA, memiliki daya adaptasi yang tinggi. Kalau kesedihan saja bisa dilewati apalagi kesenangan. Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun