Dalam pengakuan diri yang bukan siapa-siapa, biasanya akan mengikis ego sampai menipis. Idealnya akan melecutkan semangat, introspeksi dan memperbaiki diri sendiri.
Betapa di situasi terpuruk, sejatinya justru bisa menjadi saat- saat sangat berharga. Guna mengukur kualitas diri sendiri, mengukur kualitas pasangan (suami/ istri), pun kualitas orang- orang di sekitar.
Sesimpel Itu Menakar Kualitas Suami dan Istri
Kompasianer's pasti sepakat, bahwa mendapatkan suka cita (sangat mungkin) tidak perlu persiapan. siapapun siap sedia, ketika tiba-tiba ditawarin hal-hal menyenangkan. Dikabulkan segala keinginan, dipenuhi apa yang dimaui saat itu juga.
Layaknya kejadian jamak di sekitar kita, memberi surprise pada orang yang dekat. Menyiapkan kejutan memberi sesuatu disukai, diberikan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Membuat hati berbunga-bunga, seiring terwujudnya apa yang diimpikan.
Tetapi kalau direnungkan lebih dalam, bahwa kesenangan yang berlebihan cenderung mengeraskan hati. Seperti kasus anak petinggi (di salah satu instansi pemerintahan), yang di penjara karena mencelakai anak seusianya. Konon sikap itu dimiliki anak pejabat ini, karena sedari kecil dimanja sehingga rasa empati tidak dirawat.Â
Ya, bagi yang bergelimang dengan keenakan. Sangat mungkin muncul sikap, menyepelekan keadaan karena merasa mampu mengatasi (dengan uang tentunya). Maka kalau direnungkan lebih jernih, bahkan kesedihanpun sebenarnya juga dibutuhkan.
Kesedihan memungkinkan seseorang, tumbuh sikap yang lebih waspada. Tidak mau sembarang bersikap dan berucap, karena sudah merasakan sendiri di posisi terpuruk.
----
Masa sulit bagi pasangan suami istri, bisa dikategorikan masa-masa yang sakral. Asalkan bisa mengelola dan menyikapi, justru akan bisa menguatkan keduanya. Menumbuhkan sikap dan keyakinan, bersama akan bisa melewati kepedihan.