Masih dari teman yang sama, saya diberi analogi dengan menyetir (baik roda dua atau roda empat). Bagi pengemudi pemula, biasanya sense menyetir belum terbentuk, masih sangat  kasar, ngerem mendadak belum terbentuk intuisi. Semakin sering menyetir, perasaan akan terbentuk secara otomatis.  Bisa merasakan kapan saat pindah gigi, bisa menyeimbangkan kaki kanan dan kiri, berapa takaran yang pas untuk kaki menginjak kopling dan gas. Semua menjadi reflek dan telah menjadi pembiasaan. Demikian juga dengan menulis.
Teruslah Menulis sembari Meluruskan Niat
Kebiasaan saya selepas subuh adalah membuka internet dan berselancar di dumay. Sebuah pesan via inbox masuk, berisi ucapan selamat bahwa artikel saya memenangkan lomba blog. Demi menjawab rasa penasaran, saya membuka link pengumuman lomba yang dikirim via inbox.
Sebenarnya saya tidak langsung percaya karena ada "beberapa hal" terkait artikel saya yang menang tersebut. Adalah jumlah viewers-nya (saat itu) mentok di 30-an saja, entahlah masuk kategori pilihan atau tidak. Sementara ada artikel lain di lomba yang sama, jumlah keterbacaan sampai ribuan. Sempat masuk kategori 'artikel utama', bahkan masuk kategori "yang-ter, yang- ter" juga, tetapi nyatanya, justru artikel saya dengan keterbacaan sak- uprit yang menang.
Belajar dari kejadian itu, saya lagi dan lagi belajar meluruskan niat bahwa menulis ya menulis saja, diniatkan untuk berbagi pengetahuan, syukur- syukur bermanfaat bagi yang membaca. Selebihnya biarkan sunatullah yang bekerja. Kalau memang sudah jatahnya, tidak bakalan tertukar.
Bahwa menulis seharusnya tidak terpengaruh oleh jumlah keterbacaan atau posisi kategori. Pun seharusnya menulis lepas dari keinginan memenangkan lomba atau semisalnya. Karena tugas meluruskan niat menulis saja seharusnya itu yang menjadi prioritas. Yang lebih utama adalah mempersembahkan kebisaan menulis guna menghasilkan karya (tulisan) terbaik.
Semoga bermanfaat.