-----
Kereta api bagi saya, sebenarnya bukan hal baru. Seingat saya kali pertama naik kereta, saat naik kelas dua SMA. Kampung halaman saya, lumayan jauh dari Stasiun Madiun. Baru setelah berkeluarga, kisah dengan kereta api semakin seru.Â
Kala itu kami mengontrakan rumah tinggal, di Perumahan tidak jauh dari Stasiun Pondok Ranji. Waktu jagoan kami masih usia balita, wajahnya girang diajak melihat kereta lewat. Kebiasaan semasa kecil, membuat buah hati gemar akan Kereta Api dan Stasiun. Mainan kereta-keretaanya lumayan banyak, mengoleksi VCD kartun Thomas and Friends. Minta dibelikan kaos, celana, tas, bergambar kereta. Â
Tahun 2000-an awal, kereta api model lama yang beroperasi. Gerbong bercat kuning kunyit dan wana biru di bagian bawah, di jam sibuk atapnya (biasanya) dipenuhi penumpang. Loket tiket sederhana berdiri di depan stasiun, sering diserobot penumpang nakal.
Sepanjang perjalanan kereta, hilir mudik penjual asongan kerap menyenggol dengkul. Tak ketinggalan aksi pengamen, dengan suara pas-pasan tidak tepat tempo lagu. Suasana berisik semakin sempurna, ketika pengamen dan pedagang asongan berada di gerbong yang sama.
Sampai perubahan besar-besaran terjadi, gerbong Commuter Line diremajakan, bangunan Stasiun semakin dipercantik. Dan ada beberapa Stasiun, justru dipertahankan bangunan khas kolonial-nya. Seperti Stasiun Tanjung Priuk, Stasiun Jakarta Kota, dan beberapa Stasiun lainnya. Atmosfir heritage-nya sangat kuat, sehingga ditetapkan sebagai cagar budaya.
Effort luar biasa itu adalah, memerangi atapers (penumpang yang suka naik atap) commuter. Kala itu disiapkan petugas jaga, yang akan menyemprot dengan air berwarna. Terutama kepada atapers bandel, ngeyel naik ke atap meski sudah diperingatkan.
Pepatah ' hasil tak mengkhianati usaha', benar adanya. Kebiasaan naik atap, perlahan tapi pasti bisa diatasi. Kemudian era digitalisasi ber-commuter digiatkan, kini KMT dengan kemudahan top up saldo via aplikasi C-Acces.
Di awal perubahan di KAI Commuter, saya belum terlalu sering naik Commuter Line. Hanya sesekali di akhir pekan, mengajak istri dan anak jalan-jalan. Jalur kegemaran kami adalah arah Stasiun Rangkasbitung, karena bisa menikmati pemandangan hijau sepanjang perjalanan.
Saya masih mengadalkan roda dua, tenaga muda kala itu merasa sanggup menanggung capek menerobos macet. Pikir saya lebih praktis naik  motor, bisa sat set selip sana sini  di jalan raya. Pendapat yang di kemudian hari, sungguh saya sesali.