Kehidupan pernikahan, memang penuh coba dan goda. Namanya dua kepala, pasti isi dan kemauannya juga berbeda. Sepasang manusia dalam ikatan syah, dituntut terus belajar dan tidak berhenti. Berusaha seiring sejalan, menghabiskan sisa waktu hingga di ujung usia.
Dan saya sangat meyakini, bahwa demikian sunatullah berlaku di semesta ini. Sejatinya ujian sangat dibutuhkan manusia, demi menguatnya ikatan batin satu dengan yang lain. Menumbuhkan sikap suali istri, untuk saling menjaga, saling peduli dan saling menghargai.
Di-syariat-kannya menikah, tentu akan membawa dampak yang baik bagi manusia. Dengan catatan, si manusia menunaikan penikahan dengan sebaik-baiknya. Menjalankan sesuai norma dan koridor kehidupan, sehingga menjadi pernikahan yang baik dan berkah.
Ya, menikah memang penuh liku dan juang. Tetapi menjalani dengan upaya terbaik, akan membawa pelakunya pada kemuliaan. Menikah dengan segala konsekwensinya, tak lain (tujuan kehidupan) untuk kebaikan manusia. Sampai-sampai menikah ditahbiskan, setara dengan separuh dien agama.Â
Sedemikian dahsyatnya, maka jangan disia-siakan sebuah pernikahan.
------
Kompasianer, terutama yang sudah bapack-bapack. Ingat dong, prosesi sakral ijab kabul. Prosesi yang sejatinya, melepaskan ikatan anak perempuan dari orangtuanya. Bisa disetarakan, serah terima tanggung jawab. Sejak saat itu, lelaki bujangan berubah status menjadi suami. Dan seketika itu juga, memiliki kewajiban menafkahi istri.Â
Tugas yang sangat mulia, dan akan  dipertanggungkan dunia akhirat. Dan dari sinilah, seorang lelaki musti menyelamatkan harga diri !
Suami itu Wajib Menyelamatkan Harga Diri
Dulu, sesaat setelah ijab. Saya sempat gamang, membayangkan besarnya tanggung jawab sebagai seorang suami. Apalah saya, yang bukan siapa-siapa. Tetapi saya terselamatkan, oleh lelaki sederhana duduk seberang meja, bersebelahan dengan besan barunya. Meski hanya diam, tetapi lelaki ini seperti mengalirkan energi.
Ayahku, adalah lelaki yang kumaksud itu. Semasa mudanya sebagai guru, pensiun ketika saya (bungsunya) kelas tiga SMA. Saya sangat tahu, bahwa keluarga kami pas-pasan. Makan dan berpakaian seadanya, dari SD - SMP kami tak mengenal uang jajan. Meski demikian ibu dengan kekeras kepalaannya, 'memaksa diri' menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Dalam segala keterbatasan dan tenaga kecilnya, ayah terbukti mengemban tanggung  jawabnya. Meskipun harus sering mengalahkan egonya, demi membahagiakan istri dan anak-anaknya. Serupiah dua rupiah dimiliki, tidak untuk dinikmati sendiri.
Ayah lelaki tidak neko-neko, beriringan dengan ibu selama nyaris setengah abad. Setahun setelah menikahkan ragilnya, beliau berpulang ke alam baqa. Kesedihan yang tak terbendung, ketika mengilas balik jejak perjalanan ayah. Â
Ibu, adalah orang yang sangat kehilangan. Saya melihat, ibu berdoa khusyu untuk sang suami. Pernah suatu hari ke makam bareng mantu (istri saya), ibu bersimpuh mengirim doa untuk (alm) ayah. Cukuplah bagi saya beberapa bukti, bahwa almarhum ayah adalah lelaki terselamatkan harga diri.
Sedemikian mengesankan ayah di hati ibu, meski tak berlebihan menafkahi. Betapa jejak dan citra yang baik, menjadi warisan tak ternilai. Sontak menyadarkan saya, cara menjadi suami yang bertanggung jawab. Tidak melulu, melihat dari sudut pemberian harta berlimpah.Â
Cukuplah dengan sikap, kerelaan berkorban dan siap menjadi tameng keluarga.
------
Maka saya turut prihatin, kalau mendapati suami/ayah yang sehat jiwa raga tapi memilih berpangku tangan. Â Malang benar lelaki seperti ini, telah mengubur segenap potensi yang dimiliki. Langkah panjangnya, logika berpikirnya, kegagahan raga dibiarkan mandeg dan layu begitu saja.
Sementara istri yang pontang-panting bekerja, memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarga. Saking malas dan bosan ribut, istri (yang mustinya dinafkahi) terpaksa mengambil alih peran suami. Keadaan dibiarkan berlarut-larut seperti ini, lambat laun akan menggembosi harga diri lelaki.
Ayolah, para ayah.Â
Jangan bertindak semena-mena, jangan abai akan fitrah tak indahkan sunatullah. Bangkit dan bergerak, agar harga dirimu terselamatkan. Karena alam semesta selalu menyediakan diri, bagi manusia yang hendak berproses menggapai kemuliaan.
Mencari nafkah keluarga adalah kewajiban suami, untuk sebab mengerahkan segenap energi dan kemampuan. Sehingga harga diri tegak, berproses menjadi seorang yang dewasa dan bertanggung jawab.
Besaran perolehan dari bekerja, biarlah menjadi otoritas Sang Pemilik Kehidupan. Karena pada dasarnya, setiap manusia telah ditakar dan dicukupkan rejekinya. Tugas masing-masing kita, menjemput dengan upaya terbaik. Yang penting jangan malas, mempersembahkan nafkah yang baik.Â
Tak masalah soal besaran, biarlah semesta yang menentukan. Selebihnya, wahai para ayah. Kalian akan menjadi pahlawan, untuk istri dan anak-anak. Dan namamu, melekat di lubuk sanubari.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H