Sungguh saya merasakan, terjal jalan yang musti dilalui. Demi mewujudkan keinginan menikah, lebih-lebih bagi saya yang minim pengalaman pacaran. Pertemuan dengan (yang sekarang menjadi) istri, melalui perantara teman. Itupun setelah tak terhitung pertemuan (dengan yang lain), yang kemudian tidak berlanjut.
Ibu, adalah orang yang "paling nyebelin" kala itu. Berada di garda terdepan, sangat cerewet menanyai calon mantu. Meski demikian, ibu juga orang yang selalu pasang badan. Ketika saya dicemooh orang lain, yang mempersoalkan kejombloan ini.
Sementara usia terus merangkak, beriring target menikah yang semakin mendekat. Â Dalam keadaan (seperti) terdesak, saya menumpahkan harap dalam doa dan ikhtiar. Seperti ada dorongan yang kuat, menunjukkan seriusnya keinginan menikah.Â
Bahwa tujuan saya menikah, adalah ingin meneladani sunnah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bahwa keinginan menikah, ingin menggenapkan separuh ibadah. Konon semua ibadah masih satara separuh, dan separuh dien-nya adalah menikah.
--------
"Duda nggak apa-apa, yang penting nggak ngrebut suami orang" ujarnya.
Seorang teman kantor menitip pesan, minta dicarikan kenalan pria. Â Saya menyanggupi, mengingat pernah di posisi seperti teman ini. Teman lajang ini, seorang perempuan menjelang 40 tahun-an. Perawakannya mungil, berkulit sawo matang berdarah jawa sunda.
Tak berselang lama, saya (dengan dibantu istri) mendapatkan satu nama. Duda 45 th-an dengan dua anak, istri meninggal karena sakit. Pas banget, karena pria paruh baya juga sedang mencari istri.
Sekilas profil lelaki hendak dikenalkan, segera saya sampaikan. Bahwa bapak ini, pemilik bengkel motor dengan dua pekerja. Menikah cukup lama, dan maut yang memisahkan. Soal keseriusan mencari istri, tidak perlu dipertanyakan.
Tak berselang lama, dari saya menceritakan si duda. Mendadak ada yang berubah, dari garis wajah teman ini. Air muka yang tadinya bersemangat, terkesan kurang antusias. Saya tidak terlalu mau ambil pusing, toh janji itu telah tertunaikan.