Kompasianer's, saya yakin sudah familiar dengan teori 10 ribu jam milik Malcolm Gladwell. Inti teori tersebut adalah, bahwa untuk menguasai suatu bidang pekerjaan, kita musti mengerjakannya secara berulang hingga (minimal) sepuluh ribu jam.
Saya mengartikan teori ini, tentang ajakan untuk mengedepankan proses dibarengi ketekunan dan konsistensi. Apabila seseorang melakukan hal yang sama saban hari, maka lama kelamaan pekerjaan tersebut akan menjadi kebiasaan. Namanya juga kebiasaan, maka apa yang dilakukan sudah bukan lagi beban. Tapi sudah menjadi bagian keseharian, dan ada perasaan kurang jika tidak melakukan (pekerjaan tersebut).Â
Kalau sudah berada di titik ini, maka feeling atau intuisi seseorang sudah terasah. Seperti chief atau ahli pengolah masakan, di genggaman tangannya seperti memiliki takaran tak kasat mata. Seberapa dia mengambil bumbu, seperti ada timbangan hanya dengan menjumputnya. Dan citarasa yang dihasilkan, tetaplah sama dari hari ke hari.
Pun menulis.
Kita kompasianers, dianugerahi kebisaan menulis. Jangan sia-siakan hal ini, dan mari kita bersama berproses. Kemudian biarkan waktu yang akan membuktian, siapa berproses sepenuh hati atau hanya setengah saja.
Karena pada point berproses, sangat dibutuhkan kesabaran yang tak bertepi. Karena aneka ujian akan menghampiri, yang sangat mungkin menggagalkan proses telah ditempuh. Kompasianer's jangan lekas jera, teruslah berjalan menghalau segala rintang.
-------
Berproses untuk sukses, memang membutuhkan waktu panjang. Sukses yang terburu buru, ibarat ayam negeri yang gemuk karena disuntik obat. Meski besar badan, tetapi enteng bobotnya. Dagingnya empuk minim otot, tak menyehatkan saat dikonsumsi.
Beda dengan ayam kampung, yang hidup di alam bebas. Dagingnya cenderung alot, otot-ototnya terlatih untuk mencari makanan sendiri. Harga jualnya lebih mahal, dengan kualitas daging yang tidak diragukan.
Manusia yang berproses, akan menjadikannya sebagai pembelajar sekaligus pejuang tangguh. Akan disampaikan, pada pengetahuan akan pekerjaan ditekuni. Semakin terus berproses, akan tercerahkan dengan ilmu.
Demikian halnya dengan menulis.
Memproses Diri dan Mengikat Ilmu
Takdir manusia adalah keterbatasan, Â salah satunya dalam hal mengingat. Bahwa memori dimiliki dengan kapasitasnya tertentu, sangat mungkin akan kesulitan mengingat satu hal. Terhadap hal kecil terkesan sepele, tidak jarang diabaikan padahal penting. Saya dibuat kesulitan mengingat nama, terutama pada teman masa lalu yang sudah lama tak bersua. Istri kadang kelupaan pada satu kejadian, padahal dia yang mengalami sendiri.Â
Mungkin Kompasianer, juga sering lupa untuk hal-hal tertentu?
Hal demikian mengingatkan saya pada pepatah bijak, "ujung pena lebih tajam dari ingatan". Ya, sepintar apapun manusia tetaplah memiliki keterbatasan, daya ingatnya memiliki masa. Biasanya sih, kemampuan mengingat akan menurun seiring bertambahnya usia.
Menulis bisa menjadi solusi, untuk mengikat ilmu dan mematri ingatan agar selalu tersegarkan. Ilmu yang dituliskan, ibarat mengukir di batu prasasti. Sejalan dengan wasiat Ali bin Abi Thalib, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya". Kompasianer's dengan kebisaan menulis, kini telah difasilitasi platform online terkemuka sekelas Kompasiana. Maka jangan sia-siakan hal ini, mari kita gunakan sebaik-baiknya. Terus menuliskan hal-hal baik, untuk menebarkan inspirasi dan kemanfaatan.
Setiap kita diciptakan unik, memiliki pengetahuan dan minat yang berbeda. Sehingga punya sudut pandang, yang tidak bisa disamakan satu dengan yang lain. Persoalan mengolah kosa kata, atau penggalan kalimat dan diksi, itu soal teknis kepenulisan saja. Semua bisa dipelajari dan bisa diolah, seiring berjalanannya waktu.Â
Selama kita bersedia berproses, selama kita menjaga konsistensi dalam menulis. Kita akan bisa merasakan, kata atau kalimat yang enak dibenak. Karena semakin sering menulis, maka akan terasah kepekaan mengolah aksara. Ibarat seorang samurai yang menguasai ilmu pedang, seiring latihan panjang yang terus dilakukan.Â
Mari Kompasianer, memroses diri dan mengikat indahnya ilmu. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H