Ibu orang yang disiplin soal waktu, selalu mengajak kami --anak-anaknya--- pagi-pagi berangkat keliling lebaran. Ibu dan ayah memimpin, berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Tetapi rumah diampiri dipilih, adalah rumah yang memiliki hubungan darah dan dituakan.
Setelah itu ibu dan bapak pulang ke rumah, untuk menerima tamu yang datang. Kami anak-anak, meneruskan keliling sendiri. Biasanya saya memilih, rumah yang memberi sangu---hehehe. Dan setelah SMA, saya keliling lebaran bareng gengs. Dan sudah malu, apabila diberi angpao.
Karena sarapan di rumah mbah Kilah, maka ibu tidak memasak di hari lebaran. Sebernarnya bukan rumah mbah Kilah saja, ada rumah saudara lain yang menyediakan sarapan. Tetapi kami kadung jatuh hati, memilih sarapan bakso di rumah mbah Kilah.
Rasanya cukup beda, bersantap bakso di pagi hari. Kebiasaan yang baru kami dapati, ketika hari lebaran tiba. Di hari lain, kami membeli bakso dan hanya buka setelah hari terik.
Kepada saya dan cucu lainnya, mbah Kilah tak segan mengambilkan jatah double. Selain cucu sendiri, kami sudah sangat akrab dengan keluarga ini. Kemudian pulangnya, masih diberi sangu pula. Sebenarnya nilai uang tidak terlalu besar, tapi, entahlah. Kebiasaan ini sangat berkesan, masih saya ingat bahkan sampai saya beranak-pinak.
Bakso Mbah Kilah Bakso Favorit Saat Lebaran
Adalah menu bakso, layaknya bakso pada umumnya. Mie yang sudah direbus dan dituang ke mangkok, kemudian ditaburi irisan seledri dan bawang goreng. Setelah itu disiram kuah, dan dimasukan beberapa butir bakso.
Menu sarapan di rumah mbah kilah, baksonya dibuat sendiri dengan bahan pilihan. Apalagi disajikan untuk tamu, terutama kerabat yang datang. Dan soal citarasa, saya berani memberi acungan jempol. Reputasi sebagai pemilik warung rawon yang laris, tidak bisa diremehkan begitu saja.
----
Lebaran tahun ini, bakso di rumah mbah kilah masih saya dapatkan. Pak War (anak mantu, suami ragil mbah Kilah) yang menyajikan, dan dibantu anak-anaknya. Karena generasi kedua beda keahlian, maka citarasa bakso tidak seenak buatan mbah Kilah.
Pak War sebagai tukang bagunan, istrinya jualan sayur-sayuran mentah. Soal skill olah mengolah makanan, tentunya tidak sepakar (almarhumah) mbah Kilah. Namun upayanya mempertahankan kebiasaan ini, patut diapresiasi. Terbukti kami --generasi cucu--, masih saja memilih sarapan di rumah ini.