Kompasianer's, mohon maaf lahir dan batin. Hari ini hari ketiga lebaran, suasana kumpul keluarga besar dan makan-makan masih sangatlah kental. Saya sudah di kampung halaman dari H-2 lebaran, mendapati kekhasan yang sudah saya hapal.
Alhamdulillah, tahun ini saya bisa mudik --setelah tiga tahun absen. Yang utama dari tujuan kedatangan saya, adalah sungkem pada ibu. Perempuan sepuh kini dituakan lingkungan, dijadikan jujugan tetangga dan handai taulan.
Lebaran terasa semakin seru, dengan berlimpah sajian makanan. Saya seperti ditarik mesin waktu, menyusuri dunia kecil telah jauh tertinggal. Setelah sholat ied, kami sungkem pada keluarga inti dan foto-fotoan. Baru di lebaran hari kedua, keliling ke rumah kerabat.
Beberapa rumah kerabat, dari dulu tak pernah lupa menyediakan olahan makanan. Dan hanya tamu dengan hubungan kekerabatan, dipersilakan menyantap menu khusus lebaran. Â
"wis kono, ngebakso, sik," ujar tuan rumah.
Bakso, menu yang tidak asing bagi kita prang Indonesia. Bakso khusus lebaran di kampung saya, disajikan turun temurun. Mula-mula diawali oleh mbah Kilah, adik dari mbak wedok dari garis ibu saya. Di kampung kami, mbah Kilah terkenal pintar memasak (semacam tokoh kuliner). Beliau memiliki warung rawon cukup laris, di sudut pasar kampung.
Setelah simbah berpulang, kebiasaan membuat bakso diteruskan ragil-nya. Adalah anak yang menempati rumah induk, kemudian dijadikan jujukan kami generasi setelahnya. Tuan rumah kini sepantaran kakak saya, tapi saya memanggil paklek. Garis keturunan di jawa lumayan ribet, meski lebih muda bisa saja saya memanggil pakde.
-----
"Ayo, ndang budhal,' teriak ibu,"ntar sarapan di rumah mbah Kilah saja".