Wallahu'alam bishowab.
Inspirasi Baju Lebaran (Sebenarnya) Ada di Lemari Kita
Sangat mungkin, diantara kita belum pulih dari dampak pandemi. Kondisi keuangan belum leluasa, pemenuhan kebutuhan juga masih ngos-ngosan. Entah bisa mudik atau tidak, karena masih berhitung prioritas.
Alhamdulillah, kita masih disampaikan Ramadan. Bulan yang berlimpah berkah, semoga menjadi momentum untuk lebih introspeksi diri. Apalagi waktu terus merambat, sehingga jatah usia juga semakin menipis.
Kompasianer yang seumuran saya (sebentar lagi setengah abad), mungkin frekwensi pemikiran kita tidak jauh berbeda. Lebaran, tidak lagi mementingkan tampilan. Masa itu sudah lewat, masa ribet soal baju lebaran. Biarlah hal demikian, giliran anak dan atau cucu yang mengalami sekarang.
Sudah semestinya cara berpikir kita bergeser, dari sekadar penampilan fisik ragawi. Bukankah demikian, nilai-nilai bulan suci mengajarkan. Bahwa semua yang tampak indah di penglihatan, akhirnya akan ditanggalkan. Termasuk baju yang menempel, lama-lama akan lapuk di makan waktu.
---
Baju lebaran saya, tidak lagi soal baru atau lama. Tapi yang pantas dan masih bisa digunakan, nyaman dipakai berkumpul keluarga besar.
Kebiasaan yang sudah alma saya terapkan, adalah memakai baju koko di hari pertama. Baju yang saya pakai sejak pagi, untuk menunaikan sholat idul fitri di masjid atau tanah lapang. Baju yang sama, dipakai untuk silaturahmi dengan keluarga inti.
Untuk lebaran kedua, saya memilih baju yang lebih casual. Biasanya kaos dengan kerah, atau kemeja lengan pendek dengan bahan ang adem. Di kampung saya, hari kedua lebaran adalah harinya keliling silaturahmi antar tetangga. Kalau baju dipakai bahannya tebal dan panas, dijamin tidak nyaman dan gampang gerah.