Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Inilah Kesempatan Ayah untuk Meraih Sebaik-baik Sedekah

5 Februari 2023   08:26 Diperbarui: 5 Februari 2023   13:17 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lakukan ikhtiar semaksimal mungkin. Sembuh atau tidak itu urusan Allah. Namun perlu kita ingat, bahwa setiap ikhtiar menyembuhkan adalah ibadah. Setiap rupiah yang keluar untuk keluarga adalah sebaik-baik sedekah. Dan setiap waktu yang habis untuk kebaikan keluarga adalah investasi hingga ke surga - @fitirankadir" 


Kompasianer, saya mengikuti kajian Ustad Fitrian Kadir, sejak bergabung di group telegram sebuah kelompok pencari ilmu. Saya yang fakir ilmu, merasakan banyak manfaat dari kelompok ini. Quote-quote mencerahkan, video pendek inspiratif, artikel artikel bernas kerap dibagikan.

Khusus dengan Ustad muda, saya terkesan dengan keluasan ilmunya. Setiap mengulas ayat Al Quran, begitu detil dan mendalam. Dipilihlah bahasa yang mudah dipahami, sehingga meresap dan sampai ke hati---Semoga beliau istiqomah, aamiin.

Kemudian saya mengirim pertemanan di medsos, alhamdulillah diapprove. Setiap postingan sang ustad, muncul dan update di timeline medsos saya. Beberapa konten diupload, sangat relate dengan kejadian saya alami. Sungguh mengena di benak, dan (tak jarang) saya kepikiran berhari-hari.

Menghayati sebuah kejadian, sembari mereguk hikmahnya sungguh sebuah kenikmatan. Apalagi terkait dengan pengalaman (yang terkesan) memilukan, nyatanya justru mengandung hikmah sangat luar biasa. Semisal ujian sakit dan atau kesempitan, betapa mendalam pelajaran didapatkan setelahnya.

Sebenarnya bagi kaum berpikir, ujian kesenangan, ujian kelapangan, kesehatan, dan semacamnya, sama sekali bukan sebuah keistimewaan. Malahan lebih mudah melenakan dan mengeraskan hati, apabila tak dibarengi dengan tolabul ilmi. Justru kita yang sedang bersuka cita, semestinya lebih waspada-- wallahu a'lam.

----

Saya yakin, Kompasianers belum hilang, bagaimana rekaman suasana pandemi sedang menanjak. Sebagian besar kita, dilanda kegelisahan dalam banyak hal. Merasakan kesempitan, dalam menjemput nafkah keluarga. Akibat banyak pekerjaan dicancel sepihak, bahkan banyak diantara kita, teman, kerabat, yang dirumahkan dari tempat bekerja. Akibat kantor untuk beraktifitas, tutup permanen karena terus merugi alias bangkrut.

Dan tak kalah memedihkan, adalah ujian sakit di saat pandemi. Kapasitas Rumah sakit overload, biaya berobat melambung tinggi-- sesuai hukum pasar. Tak kalah challenging-nya, adalah 'berburu' obat ke apotek. Jenis obat dicari banyak orang adalah obat sama, sehingga lekas habis dan kosong. Kalapun ada, harganya berkali lipat.

Hati ini remuk, membaca dan atau mendengar kabar duka. Berita sedih mula-mula datang dari orang tidak kita kenal, berganti ke  nama nama cukup tersohor. Berikutnya teman jauh, hanya satu dua kali ketemu dan minim berkomunikasi. Setelahnya kenalan tidak terlalu akrab, teman yang kenalnya biasa saja, sahabat karib. Kabar menyesakkan terus mendekat, merambat ke lingkaran terdekat. Ada tetangga, saudara ipar, keponakan, orangtua, terus merapat dan merapat.

Huuuh (menghela nafas dulu...), saya termasuk orang yang mengalami semua ini. Dari kehilangan pekerjaan, berlaku super hemat, dibuat deg-degan dengan kabar duka di WAG keluarga. Juga mengurusi orang terdekat sedang sakit, ketika pandemi merebak, ketika rumah sakit dan tenaga kesehatan kuwalahan. Merebak santer terdengar kabar, orang sakit apapun akan dicovidkan kalau sudah masuk Rumah Sakit.

"Kalau sekiranya masih bisa dirawat mandiri, sebaiknya hal ini saja Pak dilakukan," saran dokter klinik langganan.

Inilah Kesempatan Ayah untuk Meraih Sebaik-baik Sedekah

Ustad Fitiran Kadir- dokpri
Ustad Fitiran Kadir- dokpri

Membaca postingan Ustad Fitrian Kadir, membuat saya berkilas balik. Tak hanya ke masa pandemi di puncaknya, tetapi lebih jauh ke belakang. Ketika jagoan saya -- kini sudah perjaka--, kemana-mana maunya digendong ayahnya. Saat itu belum genap dua tahun usianya, tiba-tiba buah hati muntah-muntah. Makanan atau minuman apapun diasup, tak lama kemudian keluar dari mulut mungilnya. 

Saya dan istri yang masih minim pengalaman, dibuat bingung dan kelabakan. Selang beberapa tahun, anak kedua juga sakit saat baru tegap berjalan

Postingan sang ustad (total ada 9 slide), membangkitkan kenangan memantik permenungan. Tentang perspektif orangtua, meraih golden moment dari rasa sakit buah hati dikasihi. Menimang anak semasa balita, sebaiknya jangan dilewatkan para ayah dan bunda. Karena masa-masa itu hanya sebentar, dan tak bakalan kembali.

Ketika anak beranjak besar, selain dia tak mau digendong, kitapun orangtua tak lagi kuat menggendongnya. Jelas, secara usia ayah dan ibu akan menua, dan dari sisi fisik dan tenaga dijamin menurun.

tangkapan layar- dokpri
tangkapan layar- dokpri

Di postingan slide 3, "Maka ketika balita anda sakit, dan biasanya selalu minta digendong sambil berdiri, tanpa kenal siang dan malam. Nikmati saja itu. Karena akan ada waktu dimana kita tak pernah bisa lagi menimang mereka seperti itu, dan itu sebentar lagi".

Sebagai orangtua, pasti dituntut berkorban banyak hal. Dulu saya, ketika anak masih balita dan sakit, musti  melekan sepanjang malam. Sementara pagi harinya, harus siap-siap mandi dan berangkat ke kantor. Tak ayal, di tempat kerja kelopak mata sangat berat untuk dibuka. Sepulangnya rumah berantakan, karena istri repot mengurus anak. 

Namun saya meyakini, memang ini fase harus dihadapi. Benar kata Ustad Fitrian, "Nikmati Saja"

Postingan di slide 6 (ada di awal tulisan ini), sungguh bagi saya sebagai sebuah oase. Bahwa apapun kebaikan yang para ayah lakukan untuk keluarga, sesungguhnya tidak ada yang sia-sia. Seketika saya merasa, bahwa kita yang dipercaya (oleh Allah) menjadi ayah, sebenarnya sedang dianugerahi sebuah privilege.

Maka peran keayahan sedang disandang, janganlah sampai disepelekan atau diabaikan. Jangan merasa manafkahi istri dan anak-anak, sebagai sebuah beban atau kutukan. Padahal memilih menikah dan punya anak, adalah keputusan diri sendiri.

Maka mari kita gunakan waktu sebaik-baiknya, bekerja keras menafkahi keluarga. Mempersembahkan harta terbaik (halal dan tayib), untuk dibawa pulang dinikmati keluarga. Menjadikan proses menjemput nafkah, sebagai jalan jihad di jalan Alloh. Seperti ditulis di postingan Ustad, setiap rupiah yang keluar untuk keluarga adalah sebaik-baik sedekah.

Berat memang, penuh onak duri pasti, dijamin penuh peluh keringat membanting tulang. Tetapi ayah sadar dan berbanggalah, yang sedang kita tempuh adalah jalan menuju kemuliaan. 

Semoga bermanfaat.  

tangkapan layar-dokpri
tangkapan layar-dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun