Pada keadaan sedemikian ringkih, istri benar-benar menjadi penyelamat saya. Perempuan yang saya nikahi menuju duapuluh tahun ini, sedemikian telaten mengurusi suami sedang lemah. Â Setiap jam makan disuapi, meski hanya dua tiga sendok dikunyah. Pagi dan sore diseka air menggantikan mandi, pakaian sudah bau diganti yang baru. Pada hari kedua diantar ke dokter, meski beberapa kali saya kehilangan keseimbangan.
Sekitar sepekan badan tumbang, alhamdulillah akhirnya berangsur membaik. Seminggu berikutnya, mulai mengambil pekerjaan online. Pada minggu kedua pasca sembuh, mengambil pekerjaan offline yang lokasinya tidak jauh dari rumah.
Setiap mengingat kadjian ini, saya bersyukur dan merasakan hikmah luar biasa dari menikah. Keberadaan istri sangat berarti, apalagi di usia saya yang sudah tidak muda ini. Istri yang telaten dan setia mengurus saya, mengalirkan perasaan tenang dan bahagia. Dan tentunya, membuat proses kesembuhan lebih lekas.
-----
Maka tak heran, jika cuitan twitter itu sangat mengena di benak. Karena baru saja mengalami sendiri, dan rasa tidak enak sakit itu masih terekam jelas. Seketika saya menemukan insight, bahwa menikah sangat menjanjikan kebahagiaan. Syaratnya, kita menjalankan (pernikahan) dengan baik, melewati segala ujian dengan gandeng tangan suami istri. Intinya, jangan neko-neko.
So, bagi yang masih kontra soal menikah, adalah hak masing-masing. Tetapi mari belajar bersikap adil, melihat menikah dari dua sisi. Bahwa setiap orang, (yang saya yakini) jodohnya semisal. Kalau ingin mendapat pasangan baik, harus dimulai dari membaikkan diri sendiri. Kalau kita sibuk dalam kebaikan, insyaAllah dipersuakan dengan belahan jiwa di jalan kebaikan juga---aamiin.
Wallahu a'lam bishawab- Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H