"Duda nggak masalah, yang penting tidak merebut suami orang" pesan seorang teman.
Suatu hari saya pernah dititipi pesan, teman kantor minta dicarikan kenalan. Perempuan status lajang, usia 40 tahun-an. Sungguh, saya tidak ingin mengabaikan pesan itu. Mengingat pengalaman sendiri, yang bertemu istri diperantarai seorang teman. Â
Saya turut merasakan, sebegitu gemas dan penasarannya (segera) bersua pasangan jiwa. Mengingat usaia yang sudah cukup, dan ingin segera berumah tangga. Ingin menunaikan syariat agama, yaitu menikah untuk menggenapkan ibadah.
Agar tidak berusaha sendiri, saya menerukan pesan teman kantor ke istri. Berharap mendapat uluran bantuan, siapa tahu ada informasi  sesuai dengan kebutuhan. Dan benar saja, tidak genap sepekan berjalan ada satu nama kandidat. Duda karena istri meninggal, memiliki dua anak masih kecil. Pria usia (sekitar) 45 tahun, rupanya sedang serius mencari istri.
Kepada teman kantor (yang titip pesan) sata teruskan informasi tentang keberadaan sang duda. Bahwa kandidat adalah pemilik bengkel motor, telah mempekerjakan dua orang untuk membantu. Soal kesiapan menikah tidak perlu diragukan, si bapak ingin segera mengakhiri masa duda.
"Hmmm, ntar gue pikir-pikir dulu ya" ujarnya.
Tampak perubahan air muka teman ini, yang tadinya memancarkan semangat seketika kurang antusias. Saya tak ingin putus asa, berusaha meyakinkan bahwa duda  ini sosok family man. Saya memiliki alasan kuat, selain (duda dua anak) berpengalaman dalam rumah tangga. Perpisahan karena meninggal, adalah (salah satu) bukti kesetiaan seorang lelaki.
-----
Satu dua minggu berlalu, satu dua bulan terlewati, rupanya rencana berkenalan tiada perkembangan. Saya memilih bungkam, enggan menanyakan kelanjutan kawatir menyinggung perasaan. Cukuplah dari sikap teman kantor ini, menjadi jawaban. Yang penting, saya sudah menunaikan tugas, mewujudkan kesanggupan pernah saya ucapkan.Â
Toh, masih sangat awal. Baik ke teman perempuan, atau duda pemilik bengkel, belum ada langkah telah diambil. Kini, teman perempuan titip pesan, masih betah dengan kesendirian. Sementara si duda, telah menikah untuk kedua kalinya.
Menikah Menggenapkan Ibadah
"Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya." (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)
Kali pertama penciptaan Adam AS, beliau tinggal di surga. Meski disuguhi fasilitas lengkap dan nyaman, rupanya Adam kesepian sehingga dihadirkan Siti Hawa. Dari leluhur manusia ini, kemudian beranak pinak berketurunan. Terus berlanjut sampai kita manusia akhir jaman.
Hikmah yang saya petik, bahwa setiap orang sangat membutuhkan orang lain. Laki laki dengan segala kodrat kelelakiannya, tetaplah membutuhkan pelengkapnya yaitu seorang perempuan. Dan kehidupan mengadakan syariat pernikahan, karena setiap orang disediakan pasangan.Â
Tugas manusia, adalah berbaik sangka, berusaha sunguh-sungguh menjemput belahan jiwa. Misalnya ada yang berumur lanjut dan belum bersua pasangan, tentu di luar kuasa manusia. Tetapi ada yang jauh lebih penting, bahwa usaha maksimal tidak boleh dinihilkan.Â
Biarlah semangat dan pengharapan tidak padam, menanti takdir belahan jiwa kan tiba- wallahu'alam.
-------
Menuju dua dasawarsa berumah tangga, menurut saya pernikahan itu adalah praktek di keseharian. Tidak bisa diwakilkan setumpuk teori njlimet, yang didefinisikan dengan kalimat intelek penuh retorika. Karena pernikahan adalah kehidupan itu sendiri, lengkap dengan permasalahannya. Hari-hari dalam pernikahan, ibarat pembuktian ikrar saat ijab kabul.
Keberpunyaan harta dan tahta, bukan jaminan suami istri lepas dari permasalahan. Menikah adalah kesempatan, belajar mengurai satu persatu masalah agar diri mendewasa. Menikah memang penuh tantangan, tetapi  kita manusia dimuliakan dengan akal. Sehingga akal pekerti itulah, yang menjadi senjata untuk menyelesaikan permasalahan.
Pernikahan ibarat perjalanan panjang, membutuhkan stamina sangat prima. Kebersamaan, kerjasama, dan kekompakan suami dan istri akan diuji. Â Soal berat atau ringannya pernikahan, tergantung bagaimana sikap setiap pasangan mengisi kehidupan pernikahannya.
Sudah kodrat-nya manusia, bahwa diciptakan dengan ketidaksempurnaannya. Sehingga membutuhkan orang lain, untuk melengkapi kekurangan itu. Dan atas alasan ketidaksempurnaan itu juga, maka menikah menjadi (salah satu) syariat kehidupan, yang sebaiknya dijalani.
Ya, menikah menggenapkan ibadah. Karena dari pernikahan, terbuka lebar pintu untuk terus belajar. Belajar mengelola ego diri, agar tidak terus menerus menomorsatukan kepentingan pribadi. Â Kehadiran pasangan jiwa dan buah hati, menuntut kita mengalah demi kebaikan bersama.
Menikah menggenapkan ibadah.- Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H