Saya termasuk orang yang sangat exited, ketika mendengar dan memahami istilah "keberlanjutan". Kata yang menegaskan, bahwa sejatinya kita hidup tidak untuk hari ini saja. Bahwa apa yang kita lakukan sekarang, akan memiliki dampak di hari mendatang.
Sunatullah berlaku sedemikian adilnya, setiap manusia mendapati hasil sesuai telah diperbuat. Entah baik atau tidak, entah amanah atau ingkar, entar sungguh-sungguh atau abai. Semua tentu menuai akibat, cepat maupun lambat di hari kemudian.
Orang dengan orientasi keberlanjutan, lazimnya akan hati-hati dalam mengambil keputusan. Mereka memikirkan dampak baik buruknya, sebelum memutuskan segala sesuatu. Kalaupun memutuskan mengambil pekerjaan, niscaya akan berusaha semaksimal dia bisa.
-------
Sebuah status melintas di beranda medsos, kebetulan saya mengenal orang dibalik akun tersebut. Tentang status curhat galau, di saat kantong tipis bertepatan dengan tengat membayar kewajiban. Pembuat status diharuskan memilih, satu dari dua pilihan yang sama sama pentingnya.
Saya membaca sebagian besar komentar, mendoakan agar segera menemukan jalan keluar. Sehingga dua pilihan bisa diambil, dengan tidak mengorbankan salah satu diantaranya. Ada yang memberi pertimbangan, meminta keringanan waktu dan sebagainya.
Sebagai orang yang mengenal beliau, saya turut prihatin berharap keputusan terbaik diambil. Mengingat orang tersebut, adalah tulang punggung keluarga. Namun saya sangat meyakini, bahwa kejadian ini tidak tiba-tiba. Ada rentetan kejadian di belakang hari, akumulasinya ada di hari ini.
Semua kejadian tentu ada hikmahnya, tinggal bagaimana kita menyikapi hikmah. Akan menjadi bahan introspeksi, atau berlalu begitu saja tak ada efeknya sama sekali.
Dan dibalik lintasan pemikiran tersebut, ada yang terbetik di benak tentang konsep keberlanjutan. Ya, keberlanjutan yang hasilnya saya lihat sekarang. Dari peristiwa dialami pembuat status mendsos, memiliki korelasi dengan kejadian jauh sebelum hari itu.
Kebetulan saya beberapa kali berinteraksi, untuk urusan biasa maupun pekerjaan. Dan ada yang membuat saya kurang sreg, dengan cara teman ini bersikap. Terutama untuk hal menyangkut pekerjaan, orang ini (menurut saya) kurang welcome diberi masukan membangun.
Saya pernah 'bersitegang', ketika menjadi koordinator sebuah acara. Saya pernah ditantang balik, ketika memberi masukan atau revisi pekerjaannya. Seketika saya dilanda kesal, namun enggan memperpanjang.
Dan dari kejadian tersebut, sungguh membuat saya tidak nyaman. Alhasil saya berpikir ulang, mengajaknya di next pekerjaan. Sangat mungkin, koordinator lain mengambil sikap sama dengan saya. Selama sikap egois dan enggan menerima masukan, terus dipertahankan.
Soal keberlanjutan, bukan lagi sekedar teori. Saya mengamini, pentingnya sikap berorientasi keberlanjutan. Karena setiap kejadian terus berkelindan, sambung bersambung tak berputus. Sikap kita di hari ini, sangat mungkin memberi dampak untuk kejadian di hari mendatang. Karena kita tidak hidup tidak untuk hari ini saja, karena kita akan menyusuri hari ke hari.
Ragam kejadian selalu menyertai kita, interaksi dan komunikasi dengan yang sesama musti dijaga. Jangan lelah mengupgrade skill, menerima masukan membangun demi kebaikan. Karena hidup ini dinamis bukan statis, kita musti beradaptasi dengan jaman tengah berlangsung.
Karena menjaga amanah adalah menjaga keberlanjutan. Smoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H