Lebaran, diidentikan dengan mudik dan pertanyaan tak mengenakan. Level ketidakenakan biasanya mengikuti jenjang usia. Jenis pertanyaan juga tidak monoton, biasanya menyesuaikan keadaan orang yang akan ditanya.
Perantau usia 25 -- 30 tahun, pertanyaan kapan menikah menjadi paling umum. Lebih-lebih yang melewati usia itu dan belum menikah, maka pertanyaan semisal semakin gencar dengan kalimat tajam. Tak jarang terselip nada sinis menjatuhkan, sekaligus menonjolkan ego si penanya.
Bagi pasangan menikah kurang dari tiga tahun, pertanyaan bergeser ke soal momongan. Kemudian disangkut pautkan dengan hal lain, yang menjadi kelebihan obyek yang ditanya. "wajarlah bisa beli mobil dan rumahnya bagus, kan belum mikir beli susu sama popok" -- hadeuh.
Sementara pasangan dengan anak satu, "kapan nambah anak" menjadi materi pertanyaan yang disiapkan. Pasangan dengan anak tunggal berprestasi, biasanya dikulik hal lain yang sekiranya bisa menjatuhkan.
Demikianlah hidup, manusia ibarat beranjak dari satu masalah ke masalah berikutnya. Sementara waktu terus berjalan, di setiap usia menyodorkan pengalaman berlainan. Bayangkan, sekiranya kehidupan berlimpah kenyamanan. Besar kemungkinan, tiada yang memroses manusia menjadi dewasa dan bijaksana.
-----
Beberapa waktu lalu, saya membaca cuitan jenaka di akun selebtweet. Lebih kurang begini "Jangan baper kalau ditanya kapan menikah, mungkin om/tante sekedar bertanya dan kesulitan mencari topik obrolan. Karena tidak mungkin bertanya, di Garut sebelah mana Hitler dimakamkan.---hehehe.
Dan dari sekian banyak reply-an, ada satu reply yang sangat bagus dan bijak. Lebih kurang intinya, "bahwa kita tidak bisa mengatur pertanyaan orang atas kita. Tetapi kita bisa menentukan, bagaimana memberi reaksi atas pertanyaan itu.
Menyikapi Obrolan Tak Mengenakan  Saat Lebaran
Saya juga mengalami, kejadian tak mengenakan saat lebaran. Ketika itu mendekati usia tiga puluh tahun, Â dan orang- orang di sekitar sudah mulai berisik. Mulai kakak kandung, saudara sepupu, kerabat agak jauh, teman semasa kecil, atau teman sekantor.
Pertanyaan mereka nyaris seragam, kebanyakan dengan nada dan intonasi menghunjam (itu bisa saya rasakan). Ada yang diucapkan dengan bahasa halus, ada yang dengan kalimat menyindir. Ada yang ngobrolnya dengan orang lain, tetapi jelas yang dituju adalah saya.