Etapi, soal kesepadanan sangat mungkin bisa ditemukan.
Contohnya adalah Rasulullah  yang kala itu sebagai karyawan, menikahi atasannya yaitu Siti Khadijah notabene saudagar kaya di Mekkah.  Namun Rasulullah dan Siti Khadijah bisa saling menyesuaikan.
Sebagai wanita mulia Siti Khadijah paham dan sangat mengenal, bahwa sang suami ahli dagang disegani dan sangat memegang amanah. Setelah menikah, diserahkan seluruh harta untuk dikelola. Baginda Nabi sangat berwibawa, dengan keteladanan tak lekang di makan jaman. Â Membuat hati Khadijah takluk, sangat tergantung kepada sang suami.
Bahwa kedudukan suami adalah qowwam (pemimpin) bagi istri, telah diatur dalam syariat. Kewajiban suami menafkahi dan mengayomi keluarga, sejatinya menjadi jalan mempertahankan fitrah kepemimpinan tersebut.Â
Berbahagialah para ayah, ketika istri dan anak-anak begitu tergantung. Â Hal demikian jelas menunjukkan, bahwa kalian dipercaya dan dimampukan kehidupan mengayomi mereka. Sebagai isyarat bahwa qowammah (jiwa kepemimpinan) itu, masih dijalankan dan digenggam dengan baiknya.
Pasangan Saleh Salihah Bukan Jaminan Langgengnya Pernikahan
Kompasianer, di jaman sekarang kita akrab istilah mak comblang. Â Orang atau pihak, yang menjadi perantara dua orang untuk maksud dijodohkan. Pertemuan saya dengan istri belasan tahun lalu, juga diperantarai seorang teman. Belajar dari kisah Zaid dan Zainab, soal menjodohkan ternyata tidak bisa sembarangan. Ibarat konsep dianut orang Jawa, tentang bibit, bobot dalam memilih pasangan. Kemungkinan konsep ini, mengadopsi konsep kesetaraan atau kesepadanan.
Karena tidak bisa dipungkiri, setiap kita memiliki kecenderungan untuk bisa 'klik' dengan seseorang. Orang yang sepadan, kalau ngobrol biasanya nyambung satu dengan yang lain. Orang yang sepadan, relatif se-frekwensi dalam memandang persoalan. Sehingga bisa saling mengisi, bisa saling menyesuaikan.
Tetapi sepadan, tidak semata-mata dilihat dari penampakan fisik, dan status sosial saja. Alasan kesepadanan sifatnya abstrak, tolak ukurnya berada di hati. Tetapi bukan berarti, membuat saklek atau standart kaku dan cenderung egois. Soal meraih kesepadanan, ada ilmunya, ada seninya.
Baca : Â Mencari Tambatan Hati dengan Dijodihkan Ibarat Menihikan Gengsi
Agama mengajarkan, ada tahapan dalam memilih pasangan. Kompasianer bisa belajar lebih mendalam, dan memraktekan dalam laku keseharian. Karena usaha menemukan jodoh, perlu ikhtiar lahir batin. Secara lahir kita meluaskan pergaulan, secara batin menguatkan doa dan ritual ibadah. Â
Yakinlah, semesta mempunyai cara untuk menjawab, bagi yang bersungguh-sungguh dalam berikhtiar. Termasuk menjawab doa, dipertemukan pasangan sepadan atau setara atau sekufu. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H