Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Baju Seragam untuk Lebaran ala Ibu

17 Maret 2022   06:24 Diperbarui: 21 Maret 2022   05:42 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sarung Al Hazmi - dokpri

"Aku, maunya kaos" protes saya

Saya sangat hapal, kebiasaan ibu menjelang hari lebaran tiba. Kepada saya, kakak nomor  4, dan 5, selalu dibuatkan baju lebaran seragam. Bahan sekian meter dibeli, dari lapak kain milik bu Kusnadi. Kemudian langsung diantar ke pak subari, tukang jahit langganan di utara pasar.  

Kami tiga kakak beradik, disuruh ke tukang jahit untuk diukur bergantian.  Soal warna dan model baju, kami sama sekali tidak mengetahui. Semua keputusan, sepenuhnya di tangan ibu. Sembari menunggu baju jadi, saya dan kakak bisanya menebak-nebak. Baju motif batik lengan panjang, bakalan menjadi outfit lebaran tahun itu.

Tebakan itu tidak meleset.

Di kemudian hari, setelah beranjak dewasa. Barulah terungkap alasan, dibalik keputusan baju seragam untuk lebaran ala ibu.

---- 

Kami enam bersaudara, ayah guru SD, ibu membuka warung sembako. Pasangan suami istri, pontang-panting menyukupkan kebutuhan keluarga. Kala itu semua anak masih sekolah, mbarepnya kuliah, saya paling kecil kelas dua sekolah dasar.

Serupiah dua rupiah yang keluar sangat diperhitungkan, bahkan teori tambal sulam (terpaksa) diterapkan. Kebutuhan yang bukan kategori prioritas, oleh ibu akan dikesampingkan.

Kebutuhan paling utama, adalah makan sehari-hari dan membayar sekolah. Soal baju, sama sekali tidak menjadi perhitungan. Kecuali  menjelang lebaran, kami anak-anak dibelikan baju baru. Meski kami (terpaksa) menuruti selera ibu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

"Ra isin, koyok bocah cilik ae, rioyo nganggo klambi anyar," ("Nggak malu, kayak anak kecil saja, lebaran pakai baju baru") 

Ada yang unik di kampung kami, selepas baligh (umumnya masuk SMP ) mulai enggan berbaju baru saat lebaran. Kalau nekad, biasanya dijauhi teman sebaya. Setelah sebelumnya dikata-katain, mendapat sindiran atau celetukan tak mengenakkan.

Entahlah, bagaimana dulu muasalnya. Kami anak-anak puber, membuat kesepakatan tidak tertulis. Bahwa ada lewat masanya soal baju lebaran.  Memakainya, justru membuat olok-olok.

Tidak hanya soal baju, kami membuat group keliling lebaran sendiri. Tidak bergabung dengan ibu dan ayah, memilih bersama kawan seumuran. Rute keliling lebih random, konsekwensinya tidak mendapat uang lebaran.

Kami anak baru gede (ABG), seperti butuh perlakuan layaknya manusia dewasa. Bertamu ke tetangga, ngobrol dan makan kue lebaran seperlunya. Setelahnya bersalaman dan pamit, tanpa adegan dijejali uang.

Tidak berbaju baru, tidak mendapat sangu, sangat tidak masalah. Saya merasakan, ada yang membuncah di dada. Yaitu mendapat pengakuan sebagai orang dewasa.

Baju Seragam untuk Lebaran ala Ibu

Jauh setelah masa berselang, akhirnya saya mengetahui alasan seragam lebaran. Alasan yang membuat luluh hati ini, dan menumbuhkan rasa haru. Ibu penuh pertimbangan, untuk memutuskan jenis baju lebaran untuk anaknya.

Sengaja membeli bahan batik, dijahit dengan model lengan panjang/ pendek.  Agar setelah lebaran, baju lekas disimpan dan dipakai lagi untuk acara formal lainnya. Misalnya ke pernikahan keluarga, atau ke kegiatan keluarga besar yang lain.

Baju batik tentu lebih awet, karena tidak dipakai dalam keseharian. Selain gerah, bahan kain tidak cocok untuk bersantai. Berbeda kalau dibelikan kaos, biasanya langsung dipakai sehari-hari. Bahan kaos yang casual, mendukung untuk dipakai bersantai.

Setelah masuk bangku SMP, kalau mendapat uang saya tabung. Biasanya membeli kaos jauh hari, dipakai beberapa kali kemudian disimpan. Cara demikian cukup efektif, teman sebaya tahu kaos saya pakai saat lebaran bukan kaos baru. 

Sejak saat itu, baju baru lebaran tidak lagi jadi masalah. Sikap yang sama, lebih dulu dilakukan kakak-kakak.

Sarung Al Hazmi - dokpri
Sarung Al Hazmi - dokpri

Setelah lulus SMA kemudian bekerja, justru saya membelikan ayah dan ibu untuk hari raya. Kadang membelikan ibu kebaya, ayah mendapat jatah baju koko. Di lebaran tahun berikutnya, ibu mendapat mukena dan ayah sarung.  

Seandainya ayah belum berpulang, pengin mempersembahkan sarung Al-Hazmi, itu sarung khas Kudus Jawa Tengah.

Suatu ketika, saya pernah tidak bisa mudik. Maka saya kirim paket lebaran, agar ayah dan ibu bahagia meskipun ragilnya tidak pulang. Saya yang di ibukota, sungkem melalui sambungan telepon. Rasa haru tetap saja menyeruak, ketika menyampaikan permohonan maaf lahir batin.

Lebaran tahun ini, kondisi belum sepenuhnya stabil. "sing penting sehat-sehat kabeh" ujar ibu melalui sambungan video call, seolah paham kegundahan anaknya. -- Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun