"Aku, maunya kaos" protes saya
Saya sangat hapal, kebiasaan ibu menjelang hari lebaran tiba. Kepada saya, kakak nomor  4, dan 5, selalu dibuatkan baju lebaran seragam. Bahan sekian meter dibeli, dari lapak kain milik bu Kusnadi. Kemudian langsung diantar ke pak subari, tukang jahit langganan di utara pasar. Â
Kami tiga kakak beradik, disuruh ke tukang jahit untuk diukur bergantian. Â Soal warna dan model baju, kami sama sekali tidak mengetahui. Semua keputusan, sepenuhnya di tangan ibu. Sembari menunggu baju jadi, saya dan kakak bisanya menebak-nebak. Baju motif batik lengan panjang, bakalan menjadi outfit lebaran tahun itu.
Tebakan itu tidak meleset.
Di kemudian hari, setelah beranjak dewasa. Barulah terungkap alasan, dibalik keputusan baju seragam untuk lebaran ala ibu.
----Â
Kami enam bersaudara, ayah guru SD, ibu membuka warung sembako. Pasangan suami istri, pontang-panting menyukupkan kebutuhan keluarga. Kala itu semua anak masih sekolah, mbarepnya kuliah, saya paling kecil kelas dua sekolah dasar.
Serupiah dua rupiah yang keluar sangat diperhitungkan, bahkan teori tambal sulam (terpaksa) diterapkan. Kebutuhan yang bukan kategori prioritas, oleh ibu akan dikesampingkan.
Kebutuhan paling utama, adalah makan sehari-hari dan membayar sekolah. Soal baju, sama sekali tidak menjadi perhitungan. Kecuali  menjelang lebaran, kami anak-anak dibelikan baju baru. Meski kami (terpaksa) menuruti selera ibu.