Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Hanya di Imlek, Jeruk Juga Ada di Cheng Beng

7 Februari 2022   05:52 Diperbarui: 7 Februari 2022   10:39 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengenal dan melihat perayaan Imlek, kali pertama di awal tahun 2000-an. Ketika itu  Presiden ke empat , K.H. Abdurahman Wahid, membuka kran kebebasan berekspresi bagi warga Tionghoa.

Ketika itu saya masih merantau di Kota Pahlawan, larut dalam kemeriahan atraksi Barongsai di depan Klenteng di daerah Pandegiling Surabaya. Kemudian saya mulai akrab, dengan kue keranjang, lampion, baju Cici dan Koko, aneka ornamen warna merah kuning, dan tentunya buah jeruk mandarin, serta pernak- pernik Imlek lainnya.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai mendengar dan mengenal tradisi Tionghoa selain Imlek. Diantaranya adalah Cap Go Meh dan Cheng Beng, bahkan untuk Cheng Beng saya sempat ke Pangkalpinang di awal bulan April beberapa tahun silam.

-----

Kompasianer's, ada yang masih asing dengan Cheng Beng ?

Adalah tradisi tahunan masyarakat Tionghoa, khusus umat Khonghucu pulang kampung untuk ritual sembahyang kubur. Saya ke Pangkalpinang, di puncak peringatan Cheng Beng yang diadakan di pekuburan Sentosa.

Pekuburan Sentosa atau Tjung Hoa Kung, adalah kuburan warga Tionghoa terbesar di Asia Tenggara.  Memiliki luas 19 hektare dengan (sekitar) 12.950 makam dan dibangun pada tahun 1953.

Menurut warga Tionghoa, upacara Cheng Beng sebagai perwujudan sikap mencintai dan menghormati leluhur. Layaknya hari raya lebaran (bagi muslim), maka warga Tionghoa di Pangkalpinang mengadakan tradisional mudik.

Cheng Beng bisa berarti bersih/ terang, berharap leluhur tenang di tempat yang terang.  Setelah bebersih, anggota keluarga menyiapkan sesaji berupa buah-buahan, kue, dan membakar dupa di sekitar makam.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Saya sempat berbincang dengan Hadi, lelaki usia tigapuluhan yang sengaja pulang dari tanah rantau. Hadi mengajak satu tukang, untuk mengecat ulang nisan dengan warna merah.  Kemudian rumput dan tanaman liar di sekitar makam dicabut, agar makam tampil semakin cantik. Setelah dibersihan, di atas makam diberi uang-uangan dari kertas plastik warna kuning merah.

"ini bukti cinta dan sayang pada leluhur kami. kalau untuk membangun makam, tak ada pakemnya, tergantung yang duitnya banyak bisa mewah" Jelas Hadi

Selain Hadi, saya melihat keluarga Tionghoa lain datang berombongan. Melakukan prosesi yang sama, membersihkan makam membawa sesaji dan mendoakan arwah leluhurnya. Dan memang benar yang dikatakan Hadi, ada makam yang dibangun mewah menggunakan bahan granit.

Peringatan Ceng Beng, biasanya dimulai dini hari (jam 03.00) dan puncaknya sekitar jam 05.00 waktu setempat. Saya dan teman-teman Blogger, datang lebih awal untuk mengantisipasi kemacetan akibat parkir.

Begitu sampai lokasi, saya sudah mendapati kesibukan di Paithin atau tempat mengirim doa bagi keluarga yang tak menemukan makam fisik tapi yakin leluhurnya dikubur di Pekuburan Sentosa.

Warga mempersembahkan sesajian berupa buah-buahan (Sam Kuo), seperti buah jeruk, apel, pear dan nanas yang ditata menyerupai gunungan. Soal persembahan buah, ternyata warga Thionghoa tidak mau sembarangan.  

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Pihak keluarga selalu mempersembahkan buah terbaik, untuk leluhur yang dihormati. Tak ayal buah Sunpride menjadi pilihan tepercaya, karena warga Thionghoa ingin memberikan buah yang berkualitas. Apalagi brand buah ternama tersebut, satu-satunya pemegang sertifikat GAP (good agricultural practice), yang memastikan setiap proses dikerjakan dengan aman, sehingga konsumen juga aman mengonsumsinya

Selain buah saya melihat Kambing dan Babi panggang, yang diletakkan berhimpitan dengan aneka kue seperti kue bolu kukus, apem, kue bika ambon masih ada yang lainnya.

Melihat pemandangan tersebut, saya merasakan betapa bangsa ini kaya akan tradisi. Sementara itu panggung di pelataran Paithin, diisi dengan permainan Tanjidor, dan beberapa warga Tionghoa menyanyi lagu mandarin. 

Dan di puncak Cheng Beng, dilakukan pelepasan lampion yang bisa dilakukan orang yang hadir. Pelepasan lampion diiringi doa pengharapan, untuk kebaikan diri sendiri, orang terdekat, keluarga besar dan bangsa. Panitia menyediakan banyak lampion, siapa saja bisa berpartisipasi menerbangkan ke udara.

Pengalaman mengikuti Cheng Beng, sungguh tak terlupakan sampai sekarang. Saya menjadi tercerahkan, bahwa perayaan warga Tionghoa tak hanya Imlek saja.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun