Saya mengenal dan melihat perayaan Imlek, kali pertama di awal tahun 2000-an. Ketika itu  Presiden ke empat , K.H. Abdurahman Wahid, membuka kran kebebasan berekspresi bagi warga Tionghoa.
Ketika itu saya masih merantau di Kota Pahlawan, larut dalam kemeriahan atraksi Barongsai di depan Klenteng di daerah Pandegiling Surabaya. Kemudian saya mulai akrab, dengan kue keranjang, lampion, baju Cici dan Koko, aneka ornamen warna merah kuning, dan tentunya buah jeruk mandarin, serta pernak- pernik Imlek lainnya.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai mendengar dan mengenal tradisi Tionghoa selain Imlek. Diantaranya adalah Cap Go Meh dan Cheng Beng, bahkan untuk Cheng Beng saya sempat ke Pangkalpinang di awal bulan April beberapa tahun silam.
-----
Kompasianer's, ada yang masih asing dengan Cheng Beng ?
Adalah tradisi tahunan masyarakat Tionghoa, khusus umat Khonghucu pulang kampung untuk ritual sembahyang kubur. Saya ke Pangkalpinang, di puncak peringatan Cheng Beng yang diadakan di pekuburan Sentosa.
Pekuburan Sentosa atau Tjung Hoa Kung, adalah kuburan warga Tionghoa terbesar di Asia Tenggara. Â Memiliki luas 19 hektare dengan (sekitar) 12.950 makam dan dibangun pada tahun 1953.
Menurut warga Tionghoa, upacara Cheng Beng sebagai perwujudan sikap mencintai dan menghormati leluhur. Layaknya hari raya lebaran (bagi muslim), maka warga Tionghoa di Pangkalpinang mengadakan tradisional mudik.
Cheng Beng bisa berarti bersih/ terang, berharap leluhur tenang di tempat yang terang. Â Setelah bebersih, anggota keluarga menyiapkan sesaji berupa buah-buahan, kue, dan membakar dupa di sekitar makam.