Saya berkawan cukup baik, dengan beberapa orang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Mereka orang yang (bisa dibilang) mewakafkan diri, waktu, tenaga, pikiran bahkan uang untuk orang lain yang membutuhkan. Kebanyakan mereka hidup sederhana, egonya dinomorduakan dan atau dikelola dengan sedemikian baiknya.
Saya mengenal pendiri Pondok Lansia, yang beroperasi sekitar sepuluh tahun-an. Lelaki usia belum empat puluh tahun, darinya saya belajar banyak tentang kesabaran. Bertukar cerita dengan ayah dua anak ini, membuat saya merasa belum ada apa-apanya. Saya tiada seujung kuku, untuk ilmu mengasah empati dan berlapang dada.
Selanjutnya saya lumayan akrab, dengan seorang Ustad yang mengasuh Rumah Tahfids di daerah Tangsel. Sebagian besar santrinya anak yatim piatu dan dhuafa, sekuat tenaga si Ustad berusaha agar yayasan terus berlangsung. Saya menyaksikan sendiri, Ustad dan istri membahu menghidupkan kegiatan di Rumah Tahfids.
Satu lagi ada kenalan saya, seorang ayah muda yang mendirikan komunitas di daerah Rempoa Tangsel. Sebagian besar kegiatan ditujukan untuk kaum papa, demi terbit senyum di wajah dhuafa. Saya pernah membantu untuk khitanan massal gratis, selain itu ada donasi kacamata, mengadakan warung makan gratis setiap Jumat, taman baca dan lain sebagainya.
Masih ada beberapa nama lain saya kenal, yang kalau dikisahkan tidak akan lekas selesai. Kemudian dari mereka saya teryakinkan, betapa di dunia ini masih banyak orang baik. Orang-orang pemilik hati lembut, yang rela berkorban tanpa pamrih, meski jalan dilewati tidaklah mudah.
Mereka para relawan, yang mendapatkan kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain. Dan dari ketulusan hati mereka, tak jarang pintu- pintu keajaiban itu terbuka.
-----
Kompasianer, enak kali ya. Pas membutuhkan sesuatu, hajat bisa terwujud di waktu yang tepat. Misalnya pas butuh meja ngaji, ada orang yang mengulurkan tangan. Pas tanggal bayar sewa rumah, datang 'malaikat' menyelamatkan.
Begitu seterusnya dan seterusnya.