Saya senang dan antusias mendaftar, setelah membaca berita admin KPK (Kompasianer Penggila Kuliner) di Kompasiana. Gerebek KPK diadakan lagi, setelah nyaris dua tahun absen akibat pandemi.Â
Tak terhitung sudah, berapa kali saya bergabung di kegiatan komunitas kuliner ini. Seingat saya dari tahun 2015, ketika masih aktif menjadi admin KOMiK (Komunitas Film di Kompasiana).
Tema diangkat kali ini "Gerebek Jajanan UMKM di Cikini", saya meyakini banyak tempat kuliner legendaris ada di lokasi strategis ini. Sebut saja Restoran AH di seberang Taman Ismail Marzuki, gado-gado Cikini, bubur ayam Cikini (burCik), roti Tan Ek Tjoan (dulu ada pabriknya di Cikini), Ice Cream Tjanang, dan banyak tempat makan legendaris lainnya.Â
Akses menuju lokasi sangat mudah dan banyak pilihan, bisa menggunakan Jaklingko, Bus Transjakarta, dan tentunya Commuter Line. Ojek pangkalan maupun ojek online juga bisa, mereka mangkal di sekitar Taman dekat Pasar Jaya. Pendek kata, siapapun mudah mencapai kawasan Cikini.
Saya sendiri memilih naik Commuter Line, cukup sekali nge-tap (Rp 3. 500,-) naik dari Stasiun Pondok Ranji turun di Stasiun Cikini. Sebegitu mudah dan murahnya naik transportasi massal di ibu kota.Â
------
Saya masih ingat, untuk sebuah pekerjaan (beberapa kali) bolak-balik Jakarta-Surabaya. Di bilangan Semanggi sempat pusing kepala, karena kendaraan berjalan merayap padahal kami sedang di bahu jalan TOL. Batin terbersit sebuah kalimat, tidak sudi tinggal apalagi menetap di ibu kota.
Kalimat yang tidak sampai diucapkan mulut itu, di kemudian hari dibantah sendiri. Setelah serangkaian test, interview, dan proses seleksi di Kota Pahlawan. Saya dinyatakan lolos ditempatkan di kantor pusat di Jakarta.
Tanpa pikir panjang saya ambil kesempatan, tekad ini membulat segera berangkat. Bekerja di kota Metropolitan, harga seporsi makanan bisa dua kali harga di Surabaya. Saya dan teman seperjuangan, sering berburu dan mencari warung dengan harga miring.
Menu kurang familiar dijajal, nasi uduk dengan jengkolnya, gado-gado Betawi yang beda jauh dengan gado-gado di Surabaya. Ada menu yang membuat bingung adalah pecel lele/ayam, saya sempat protes karena tidak ada (sayur) pecelnya---hehehe.
Tempat makan di daerah Kwitang, Cikini, Gondangdia, Kramat, Matraman, dan sekitarnya kami jelajahi. Satu dua warung akhirnya menjadi langganan, selain harganya bersahabat, tempatnya enak, dan masakannya cocok. Apalagi si penjual ngobrol memakai boso Jowo, saya makin betah serasa tidak sedang di Jakarta.
#KPKGerebek  Menyusuri Kuliner Cikini Sembari Mengulik Nostalgi
Sesuai brief, pasukan KPK gerebek berkumpul di restoran siap saji. Dua belas Kompasianer datang tepat waktu, mengikuti briefing dan diadakan undian door prize. Selamat mbak Windu dan mbak Denik, mendapat buku dan oleh-oleh Mandalika. Setelah sesi foto-foto satu tim lengkap, kami menyebar berburu kuliner yang dijual UMKM. Saya dan mas Bule berjalan ke arah TIM, agar warung dan makanan dibeli tidak sama dengan peserta lain.
Menyusuri jalanan di Cikini Raya, saya seperti diajak kilas balik ke puluhan tahun lalu. Kali pertama merantau di ibu kota dan berkantor di daerah Kebon Sirih. Kalau sedang suntuk dengan kerjaan, lepas jam kerja saya nomat (nonton hemat) di bioskop (TIM) atau nonton pentas kesenian di pelataran TIM.
Kadang sholat di Masjid Jami' Al Ma'mur di Jalan Raden Saleh, dulunya adalah surau yang didirikan pelukis Raden Saleh tahun 1860. Berada di masjid yang juga cagar budaya ini, selain tempatnya adem bisa mengingat sejarah keberadaanya.Â
Khusus kuliner di Cikini, dulu salah satu langganan saya adalah pecel khas Madiun di sebuah warung tenda. Semasa bujangan, saya kerap makan bareng teman satu divisi di tempat ini. Warung buka sore hari di sudut jalan gang, taste sambal kacangnya medhok sangat pas di lidah jawa saya.
Jujurly di Gerebek KPK kali ini, mata ini mencari keberadaan warung klangenan ati itu. Tak terasa puluhan tahun sudah tidak mampir, setelah beranak pinak dan tinggal di daerah Tangsel. Apa daya warung dicari tiada, entah pindah, entah tutup dan tidak jualan lagi.
Tempat yang dulu akrab dan kerap saya sambangi, kini tampak banyak berubah. Warung beratap terpal enyah, berganti bangunan baru semi permanen. Selain tampak lebih modern, juga lebih bersih dan tertata rapi.Â
Niat makan nasi pecel sayur diurungkan, dan beralih mampir ke warung yang ada. Makan menu sesuai ketentuan panitia, kali ini menjadi peserta manut biar diajak kegiatan selanjutnya---hehehe.
----
Akhir pekan banyak warung tutup, saya memutuskan masuk ke Warteg Rapih Jaya. Menu khas warung tegal tersaji komplit, konsumen bisa memilih sesuai selera. Saya memesan nasi putih, sayur bayam (atau sayur bening), kentang balado, dan telur asin. Sementara untuk minum, memilih teh tawar hangat.
Pandemi memberi dampak signifikan, warung yang biasanya ramai pengunjung di hari kerja, belakangan mendadak sepi. Pendapatannya menurun, akibat pemberlakuan WFH (work from home).Â
Warteg yang telah berjualan sekitar 5 tahunan ini, terpaksa mengurangi porsi masak harian. Sang owner memiliki dua cabang (satu lagi di Bekasi), memberlakukan sistem subsidi silang agar warung tetap beroperasi.
Btw, dari sisi rasa untuk ukuran saya lumayan asin, terutama untuk kentang baladonya. Lebih-lebih setelah dimakan bareng telur asin, jadinya asin ketemu asin --salah saya juga sih. Untung ada sayur bayam di mangkok berbeda, rasa asin bisa ditutup dengan kuah berlimpah.
"Pak, kenapa kok dipoto- poto?" tanya mbak penjaga.
"Saya dapat tugas untuk posting di sosmed," jawab saya
Kesibukan saya sembari makan, rupanya diperhatikan dan membuat si mbak warteg penasaran. Apalagi saya juga bertanya ini dan itu, yang mungkin tidak dilakukan oleh pembeli lain. Sebelum beranjak saya memfoto gorengan, yang dari tadi menahan diri tidak mengambil (sedang diet ceritanya).
Setelah makan berat, kembali kami menyusuri trotoar sembari hunting makanan kedua. Mas Bule berhenti di gerobak roti Tan Ek Tjoan, sebagai bekal camilan untuk nonton bola malam hari. Saya memilih membeli rujak buah, yang gerobaknya ngetem di depan warung Ampera.
Dari kotak plastik bening, tampak irisan mangga, jambu air, jambu crystal , dan nanas ditata rapi. Dibandrol diharga 15 ribu, lengkap dengan sambal rujak dan garam lembut. Selain rujak buah ada rujak bebek (huruf "e" dibaca seperti benalu), dari tampilannya saya kurang tertarik.
Gerobak yang jam buka menyesuaikan warung makan ini, lumayan ramai pembeli. Cocok sebagai makanan pencuci mulut, atau sekaligus untuk camilan sehat. Selain buah memang menjadi kesukaan, makanan real food ini sudah saya rasakan manfaatnya.Â
Badan yang (dulu) beratnya satu kwintal ini, berkurang hingga dua puluh lima kilogram. Sementara mas Bule memesan somay, saya izin ikut numpang menyantap rujak buah.
Hari menjelang sore, saya duduk di sudut Cikini menikmati suasana. Hilir mudik kendaraan pribadi, berbaur dengan mikrolet (jak Lingko), bus (transjakarta), bajaj, opang dan ojol. sesekali suara deru kereta melintas, membuat suasana hidup dan riuh.Â
Karyawan di toko yang menjual parcel terlihat sibuk, menyediakan bingkisan untuk Natal dan Tahun Baru. Meski tidak seramai sebelum pandemi, denyut Jakarta masihlah terasa.Â
Saya seperti tergulung ombak waktu, menjumputi jejak masa lampau yang ada di sepanjang jalanan Cikini. Bangunan lama yang masih kokoh, tempat ikonik Jakarta, kuliner melegenda, sebagian besar saya mengenalinya. Semua telah dimakan waktu, menderap perkasa bersama berlalunya masa.
Aku hari ini, di usia yang terus meninggi. Menyusuri kuliner Cikini sembari mengulik nostalgi. Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H