Gerobak yang jam buka menyesuaikan warung makan ini, lumayan ramai pembeli. Cocok sebagai makanan pencuci mulut, atau sekaligus untuk camilan sehat. Selain buah memang menjadi kesukaan, makanan real food ini sudah saya rasakan manfaatnya.Â
Badan yang (dulu) beratnya satu kwintal ini, berkurang hingga dua puluh lima kilogram. Sementara mas Bule memesan somay, saya izin ikut numpang menyantap rujak buah.
Hari menjelang sore, saya duduk di sudut Cikini menikmati suasana. Hilir mudik kendaraan pribadi, berbaur dengan mikrolet (jak Lingko), bus (transjakarta), bajaj, opang dan ojol. sesekali suara deru kereta melintas, membuat suasana hidup dan riuh.Â
Karyawan di toko yang menjual parcel terlihat sibuk, menyediakan bingkisan untuk Natal dan Tahun Baru. Meski tidak seramai sebelum pandemi, denyut Jakarta masihlah terasa.Â
Saya seperti tergulung ombak waktu, menjumputi jejak masa lampau yang ada di sepanjang jalanan Cikini. Bangunan lama yang masih kokoh, tempat ikonik Jakarta, kuliner melegenda, sebagian besar saya mengenalinya. Semua telah dimakan waktu, menderap perkasa bersama berlalunya masa.
Aku hari ini, di usia yang terus meninggi. Menyusuri kuliner Cikini sembari mengulik nostalgi. Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H