Satu dua bulan belakangan, masyarakat dikagetkan dengan naiknya harga minyak goreng. Harga barang kebutuhan pokok ini, berhasil membuat ibu-ibu (bapak juga sih) menjerit. Minyak yang sebelumnya tidak sampai 30 ribu (kemasan 2 liter), merangkak mendekati 40 ribu.
Tak bisa dipungkiri, bahwa wabah pandemi ini membuat menurunnya pendapatan. Banyak diantara kita terpaksa dirumahkan, mengingat tempat pekerjaan sudah gulung tikar. Pengeluaran serupiah dua begitu diperhitungkan, apalagi harga kenaikan minyak sampai 30% lebih.
Menyikapi soal minyak goreng, konsumen seperti tidak punya pilihan. Semarah dan semahal apapun, tetaplah barang pokok tersebut dibeli. Â Apalagi sejauh ini minyak berbahan kelapa sawit menjadi andalan, dibanding minyak yang dibuat dari bahan lain (misal jagung).
Sebagian besar kita juga belum bisa lepas dari minyak, karena masih suka makan gorengan, masih gemar menyantap nasi goreng, menikmati olahan sayur yang dioseng, suka mengonsumsi sambal terasi digoreng dan seterusnya.
Saya sendiri tetap membeli minyak goreng meski (sebenarnya) berat hati, sebab anak-anak semangat sarapan kalau lauknya sosis goreng. Kalau sore ngemil bakwan, tahu isi, atau tempe gembus. Kebayang lahapnya anak wedok, tak tega kalau menghilangkan minyak goreng.
Merespon kondisi di pasar, beberapa mini market ternama berkreasi mengadakan promo minyak goreng. Meskipun kalau dicermati satu persatu, sebenarnya harga dibandrol tetap di atas tigapuluh ribu rupiah.
Ada supermarket memasang harga lumayan miring, tetapi dengan syarat konsumen berbelanja senilai yang ditentukan untuk menebus minyak dengan harga khusus. Ada lagi minyak dipaket dengan produk lain, sehingga harga dibayarkan konsumen tidak terkesan mahal.
Kita orang kecil tidak punya pilihan, meski mulut ini ngedumel tetap saja membeli. Meski protes dan suaranya tidak sampai ke pembuat kebijakan, tetaplah harga yang dipermasalahkan dengan susah payah dibayarkan.
Begitulah keadaan nyata, berat tetapi mau tak mau harus dihadapi dan dijalani.