Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Kalau Tidak Ingin Rusak Pertemanan, Stop Bertanya "Kapan Nikah?"

23 November 2021   05:27 Diperbarui: 24 November 2021   03:46 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pernikahan. (ilustrasi pribadi)

Membaca status yang lewat beranda di medsos, saya ikut merasakan sebegitu geram, marah dan jengkelnya si penulis.

Di statusnya yang panjang, pemilik status menyayangkan kekonsistenan orang yang menanyakan status kejomloan, sampai setiap ucapan dan tindakan selalu dihubungkan dengan kebelumnikahan si pembuat status.

Padahal saudara bukan, kerabat bukan, sahabat dijamin bukan, temanpun kemungkinan sekedar kenal.

Entah benar atau tidak, sekilas saya menebak ada terbersit maksud tidak baik dibalik pertanyaan "kapan nikah" tersebut. Biasanya, tujuan pertanyaan itu tidak lain kecuali untuk menjatuhkan mental.

Kalau maksud dari  pertanyaan itu baik, niscaya caranya (baik pilihan kalimat, bahasa tubuh, tekanan dan waktunya) membuat nyaman yang ditanya. Padahal kalaupun suatu saat yang ditanya benar-benar menikah, belum tentu orang yang usil bersedia membantu atau berkontribusi.

Misalnya menyokong pengadaan catering, atau bersedia direpotin mengurus ini dan itu di hari pernikahan. Saya pernah mengalami, saya pernah di posisi pemilik status tersebut.

---

Mendekati usia tiga puluh, tiba-tiba ibu saya berubah menjadi sangat cerewet. Setiap kali menelpon, pertanyaan itu-itu saja yang dilontarkan.

Saya sempat dibuat sebal dengan sikap ibu, tetapi tidak sampai marah apalagi dimasukkan hati. Karena saya sangat paham dan percaya, bahwa ibu orang yang tulus dan bermaksud baik untuk anaknya.

"Ayo to le. Kalau ditunda-tunda, ibu kasian masa tuamu nanti," ujar ibu saat saya mudik.

Keberpihakan ibu kepada saya sangat jelas, ketika ada saudara (bulek/ paklik/ sepupu/ saudara jauh) mengusik kesendirian anak ragilnya. Seketika beliau maju memasang badan, menangkis nyinyiran itu dengan kalimat tak kalah menohok.

"Doain ya, biar segera dapat jodoh. Nanti kamu kebagian nyewa tenda yo,"

Balasan ibu langsung membuat mingkem, si tukang nyinyir ini menyingkir teratur. Tetapi kalau hanya berdua, suasana dirasa aman dari penganggu.

Maka ibu kembali cerewet, meminta saya lebih keras berusaha dan menekan ego. Bahwa sesuatu yang berasal dari hati, tentu akan sampai dan dirasakan di hati. Maka maksud ibu untuk anaknya, adalah definisi ketulusan yang sesungguhnya.

Saya sangat meyakini, bahwa pertemuan dengan calon istri tujuh belas tahun lalu. Tak lepas dari peran dan doa ibu yang tak henti, serta suntikan semangat diberikan.

Kalau Tidak Ingin Rusak Pertemanan, Stop Bertanya "Kapan Nikah" 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Anehnya, meski pertanyaannya sama (yang diucapkan ibu), tapi mendadak terdengar berbeda dan membuat panas telinga.

Ketika disampaikan saudara jauh, di tengah keluarga besar yang sedang berkumpul. Kejadian yang sulit saya lupakan, sampai sekarang masih membekas di benak. Kemungkinan muka saya merah padam, antara marah dan malu tetapi tidak bisa membalasnya.

Saudara jauh mengungkit kesendirian saya, di saat dan waktu yang tidak tepat. Sejak detik itu, rasa hormat ini (kepada saudara) lenyap tak bersisa dan hubungan menjadi renggang.

Setiap kali ada acara keluarga, saya memastikan apakah saudara yang satu ini ada. Kalau terpaksa datang, saya sangat menghindari bertemu atau berkomunikasi. Itu dengan saudara sendiri, bagaimana kalau yang usil adalah sekedar teman.

-------

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Hidup selalu menyuguhkan tantangan, salah satunya menghadapi orang yang tidak suka dengan diri. Banyak faktor menjadi penyebabnya, entah rasa iri dengan pencapaian yang kita dapat, atau mungkin sebab lain.

Pepatah "dalamnya laut bisa diduga dalamnya hati siapa yang tahu" benar adanya. Kita tidak bisa menebak yang berkecamuk di benak orang, terhadap diri kita sendiri.

Maka alangkah baiknya, apabila kita mengambil sikap yang aman. Dengan tidak mencampuri urusan orang, lebih-lebih yang tidak ada kaitan dengan diri kita. Termasuk menanyakan sesuatu yang sifatnya personal, yang kita tidak punya kepentingan atau dampak di dalamnya.

Kecuali orang tersebut memercayai kita, sebagai orang yang bisa diajak diskusi (itupun musti dijaga dengan baik). Kita tidak tahu, seberapa keras orang lain telah berjuang menemukan jodohnya.

Kita tidak tahu, perjalanan atau kepahitan hidup yang telah dilaluinya. Sudahlah, jangan menambah beban pikiran orang lain.

Kalau tidak ingin rusak pertemanan, stop bertanya "kapan menikah".

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun