Entahlah, siapa kali pertama memulai. Membuat perkiraan usia lazim menikah, kemudian menjadi kesepakatan orang banyak. Patokan usia kepantasan menikah, disepakati direntang 20 - 30 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Selebihnya itu, dianggap telat menikah.
Saya pribadi antara setuju dan tidak. Tetapi menyoal penentuan patokan usia, saya yakin ada banyak pertimbangan dibaliknya.
Bisa jadi mempertimbangkan sisi fisik dan mental, bahwa lewat duapuluh menuju tigapuluh tahun, secara umum dianggap sebagai pribadi mumpuni. Kuat dari sisi raga, dan mentalpun tak kalah kuat.
Di rentang usia tersebut, kecenderungan orang sudah bisa menoleransi ego. Soal toleransi sangat penting, dalam sebuah ikatan pernikahan.
Suami dan istri nantinya dituntut bekerjasama, melintasi lembah ngarai kehidupan. Dan soal liku-liku hidup, butuh ketangguhan tinggi. Â Pada umumnya dipunyai orang, yang menyediakan diri berproses -- ditandai dengan siap menikah.
Usia 20 -- 30 sebagai masa produktif, darah dan jiwa segar itu menggelegak dan mengalir dengan derasnya.
Siap memikul tanggung jawab kehidupan, termasuk siap menaklukan tantangan. Â Sanggup memikul berat ujian, memegang estafet meneruskan silsilah keturunan.
Kemudkan diharapkan, akan hadir generasi hebat di kemudian hari. Kelak meneruskan cita-cita pendahulunya, dan martabat keluarga terpelihara.
----- Â Â
Belum lama ini mencuat kabar di berbagai media, perpisahan pasangan public figure. Menurut kabar, pernikahan telah berlangsung (sekira) 5 tahun. Saat ijab keduanya masih sangat belia, malah si pria belum genap duapuluh tahun.
Menikah dini  memang cukup riskan, secara mental dan pikiran (bisa dikatakan) belum siap. Beberapa kasus menikah (terlalu) muda, endingnya cukup pahit contohnya pasangan terkenal ini.
Pun menikah selewat usia tigapuluh tahun, umumnya menjadi pertimbangan adalah jarak umur antara orangtua dengan anak.
Saya punya kenalan, di usia mendekati setengah abad anaknya baru masuk SD. Teman ini mengaku kelelahan dan kewalahan, menuruti kemauan si anak untuk bermain bola.
"Kalian jangan nyontoh saya" nasehatnya kala itu
Saya berhitung waktu, tidak ingin jarak usia saya dan anak seperti kisah bapak yang kecapekan main bola.Â
Sementara waktu terus bergulir, kalau saya mengulur -- ulur kesempatan bagaimana jadinya.
Apapun kondisi terjadi, selama semangat menjemput belahan jiwa tidak luntur. Bagi saya itu sudah cukup.
Toh kewajiban ikhtiar sudah ditunaikan, kuasa manusia hanya sebatas upaya dan doa.
Selebihnya pasrah sepasrahnya, pada kehendak Sang Pemilik Kehidupan.
Telat Menikah Tak Masalah, Asalkan...
Selain menempa kesabaran diri sendiri, pejuang jodoh musti sabar menghadapi penilaian orang sekitar.
Dulu saya menggaris bawahi kata "UJIAN", saat tertatih menemu tambahan hati.Â
Agar saya yang sedang berproses 'mencari', bisa belajar iklhas dalam menjalani. Kata ujian ternyata memotivasi dan menyemangati diri, untuk terus memperbaiki ikhtiar.Â
Agar proses pencarian sedang ditempuh, memiliki nilai ibadah di dalamnya. Sementara itu abaikan dulu segala omongan sekitar.
Karena kesiapan menikah, tak sekedar dipandang dari hal umum dan kelihatan mata saja. Â
Misalnya dari kecukupan umur, misalnya dari kepemilikan harta benda, misalnya dari pangkat jabatan diemban, atau ukuran tampan dan cantik rupa semata.
----
Waktu yang tepat untuk seseorang menikah, adalah misteri yang menanti disibak pencarinya .Manusia bisa menyibak misteri, setelah menyertakan kesungguhan upaya lahiriyah semaksimal dia bisa.
Cepat atau lambat datangnya jodoh adalah rahasia, tetapi hal itu tidak boleh melemahkan semangat berusaha.
Terus lakukan semampu-mampunya, sembari meluruskan niat menikah.Â
So, telat menikah itu tak masalah asal segala ikhtiar terus ditunaikan. Selebihnya, bersiaplah menerima segala ketentuan-NYA.Â
Dan ketentuan itu, pasti yang terbaik.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H