Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bertanya Sebelum Membeli Cara Menghindari Praktek Nuthuk Harga

3 Juni 2021   14:58 Diperbarui: 3 Juni 2021   21:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kejadian sedang viral belakangan, adalah complain konsumen ke penjual makanan yang nuthuk harga. Pemilik akun medsos, mempersoalkan harga makanan yang tak wajar di Malioboro Jogjakarta.

Si pembeli membuat video dan menjelaskan rincian harga, untuk lele-nya saja 20 ribu, nasi putih dihargai 7 ribu, dan lalapan-nya 10 ribu.

Angka 37 ribu untuk seporsi pecel lele, menurut saya termasuk kategori mahal. Dan yang membuat janggal, mengapa tiap item makanan dijual dan dihitung terpisah.

Selama ini saya menemui penjual pecel lele, seporsi lengkap sudah  terdiri dari nasi putih, pecel lele (digoreng), sambal dan lalapannya.

Tigapuluh tujuh ribu terasa kurang wajar, untuk makanan yang dijajakan di kaki lima, dan memakai standart harga kota Jogjakarta.

Kebetulan saya pernah nge-kost di Wirobrajan Jogja, harga makanan seharusnya di bawah Surabaya dan jauh dibawah harga makanan di Jakarta.

Seporsi lele pecel di Tangsel (tempat saya tinggal) saja, sekarang harganya masih dibawah 20 ribu. Kalaupun langganan dan kenal penjualnya, masih bisa nambah lalapan atau sambal-nya.

Kalau pembeli akrab dengan penjual, kalau pesan teh manis si abang menawari ditambah air minum lagi (biasanya ditambah teh tawar).

Pada umumnya penjual, melakukan hal tersebut untuk mempertahankan kesetiaan pelanggan. 

Berharap konsumen (lain waktu) kembali lagi, kemudian menularkan dan atau mengajak teman atau keluarga lain.

Pelayanan yang terbaik dari penjual, membuat konsumen nyaman dan tidak berpaling ke penjual makanan sejenis yang lain.

-----------

Kisruh harga makanan mahal di lokasi wisata, sebenarnya bukan kali  pertama terjadi.

Kompasianer mungkin ingat, kejadian di warung pinggir pantai wisata di daerah Serang Banten. Konsumen menerima tagihan sebesar satu juta sekian, untuk makan siang yang terdiri beberapa menu standart.

Setelah nota dipublish di medsos, Pemda setempat turun tangan dan menertibkan pedagang di wilayah tersebut.

dokpri
dokpri
Kemudian baru-baru ini terjadi, warung di daerah puncak.  Semangkok mie instan rebus dihargai 18 ribu dan telor setengah matang 25rb.

Setelahnya pemilik warung menanggapi, bahwa harga tertulis di bon tersebut wajar untuk daerah wisata.

Soal pelayanan penjual yang baik, biasanya di warung yang (sebagian besar) pembelinya orang rumahan. Atau warung kaki lima, yang pelanggannya tetap.

Sementara penjual atau warung, yang pembelinya sekali lewat misalnya di tempat pariwisata. 

Biasanya soal pelayanan tidak terlalu diutamakan, mungkin menganggap pembeli adalah pengunjung yang sekali datang. 

Harga makanan yang lebih tinggi di tempat wisata, konon menyesuaikan biaya sewa (yang juga tidak murah). 

Tetapi marahnya konsumen di Malioboro, tidak bisa diabaikan begitu saja.

Saya pernah merasakan dan menemui pedagang nuthuk harga, rasa kenyang dirasakan perut mendadak lenyap. 

Tiba-tiba saya merasa lapar, akibat nggondok dikemplang harga. Setelah itu kapok, tidak mau membeli di warung tersebut.

Memang penjual sepenuhnya punya hak, memasang harga untuk makanan yang dijual. 

Kemudian serahkan market untuk merespon, biarkan sikap konsumen menentukan keberlangsungan warung tersebut.

Bertanya Sebelum Membeli Cara Menghindari Praktek Nuthuk Harga

Soal transaksi makanan, saya belajar dan mencontoh sikap istri. Sebaiknya apapun yang hendak dimakan (di warung), sudah jelas (harganya) dari awal membeli.

Kita konsumen, sudah sewajarnya mengetahui harga makanan hendak dimakan.

Susah berurusan dengan pedagang nuthuk harga, mau komplain soal harga kondisinya serba salah. Karena makanan kadung masuk ke perut, paling banter kita ngomel-ngomel.

Setelahnya si penjual belum tentu peduli omelan konsumen, dan kita tetap berkewajiban membayar sesuai tagihan --kecuali mau memperpanjang kasus.

dokpri
dokpri
Daripada ribut dan ribet, jalan keluar mengatasi masalah ini adalah sebelum makan bertanya harga ke penjualnya. 

Membiasakan bertanya harga sebelum makan, di awal ada rasa sungkan atau malu. Saya dulu merasa tidak enak, mengandalkan istri untuk bertanya harga.

Tetapi lama kelamaan, saya menepiskan perasaan tersebut demi kebaikan bersama.

Kalau penjual punya hak membandrol harga, konsumen punya hak menanyakan harga (makanan) sebelum membeli.

Bertanya harga sebelum membeli, sebagai cara menghindari penjual yang nuthuk harga.  Sehingga suasana makan lebih nyaman, karena sudah bisa memperkirakan uang hendak dikeluarkan.

Atau kalau mau aman, bisa saja membawa bekal sendiri sebelum ke tempat wisata. :) 

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun