Anak berbuat salah jangan dimarahi, sejatinya mereka sedang belajar. Mengingatkan dengan kalimat yang baik, sebagai cara bijak agar anak tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tetapi kalau misalnya anak salah lagi, mengapa kita tidak melapangkan hati memberi permaafan. Toh, kita orangtua juga (maaf ya) tidak soleh-soleh amat kan.
Rasulullah Muhammad SAW memberi keteladanan, untuk mengistimewakan anak. Mereka penghuni masa mendatang, yang meneruskan langkah generasi pendahulu.
Rasulullah mengajarkan anak sholat sejak dini secara bertahap (sesuai umur), dan berhati-hati soal sangsi pelanggarnya. Baru di usia sepuluh tahun, anak yang belum sholat baru boleh dipukul.Â
Itupun memukul di bagian tertentu, tujuannya tidak untuk menyakiti.
Orangtua juga manusia biasa, sewaktu-waktu sangat bisa tersulut amarah. Tetapi orangtua identik dengan manusia dewasa, tidak hanya dari usia tetapi mustinya tercermin dari tindak tanduk dan ucapan.
Tidak ada yang melarang ayah dan ibu marah, tetapi musti marah dengan ukuran yang pas. Kemarahan orangtua dijaga, jangan sampai kebablasan membuat hati anak retak.
Karena kalau hati sudah retak atau terluka, niscaya butuh usaha lebih untuk mengembalikan seperti sedia kala.
-----
Menyoal marah, saya juga pernah marah pada anak. Hingga anak lanang menghindar berkomunikasi dengan saya. Hal ini baru saya sadari, setelah si sulung tidak saban hari ketemu (mondok).
Belajar di pondok saat pandemi, Santri tidak diperbolehkan keluar asrama dan orangtua tidak diijinkan menjenguk.
Pondok mengambil jalan tengah, mengijinkan anak memegang handphone agar tidak jenuh. Karena tidak bisa keluar sama sekali, tetapi handphone digunakan di jam- jam tertentu.
Ketika memegang gawai, rupanya anak kerap chating (hanya) dengan ibunya. Sementara dengan ayahnya, tidak pernah disapa.
Saya mendapat kabar anak dari cerita ibunya, jujur kondisi ini membuat saya sedih sekaligus introspeksi.Â
Sampai akhirnya tiba saat, si ayah mengutarakan permintaan maaf kalau pernah berbuat salah.
Seingt saya, saya memang pernah marah. Tetapi tidak mengira akan sebegitu jauh akibatnya. Kemarahan yang menurut saya biasa dan sudah selesai, ternyata mengganjal di benak buah hati.
Permintaan maaf tulus itu, (benar-benar) saya sertakan penyesalan. Mengubah sikap menjadi lebih lunak, tidak lagi egois dan tetap menjaga perasaan anak.
Saya merasakan tidak enaknya didiamin anak, sungguh membuat kapok dan tak ingin mengulanginya.
Saya sengaja mengambil inisiatif lebih cepat, kawatir hati anak kadung retak. Daripada di kemudian hari merugi, akibat tidak dekat dan tidak bisa mengambil hati buah hati.
Jangan Retakkan Hati Buah Hatimu
Suatu hari, Baginda Nabi pernah menggendong bayi (anak seorang sahabat) yang menangis. Tanpa disangka bayi tersebut pipis, tepat saat berada di pangkuan manusia mulia.
Si orangtua  merasa tak enak hati, hendak bergegas mengambil bayi dari pangkuan Rasulullah tetapi ditahan. Menurut Nabi, bahwa air kencing bayi bisa dibersihkan dengan air, tetapi retaknya hati anak susah dibalikkan.
Artinya Rasul, bersikap sangat hati-hati terhadap anak-anak. Mereka (anak-anak) juga manusia, yang perlu dijaga hatinya. Hukuman fisik kepada anak ala Rasulullah- pun bertahap, tidak semaunya atau seenak orangtuanya.Â
Dan memukul adalah hukuman tertinggi (paling akhir), untuk kesalahan sebesar tidak menjalankan syariat agama.
Saya pernah mendengar ulasan seorang praktisi pendidikan, bahwa marah atau hukuman kepada anak seharusnya fungsinya seperti obat. Namanya obat pasti pahit, tapi ketika dikonsumsi untuk menyembuhkan sakit.
Mengonsumsi obat dibutuhkan resep dokter, karena kalau dosisnya kurang sakitnya tidak sembuh kalau over dosis bisa semakin parah.
Demikian pula marah, juga ada ilmunya. Apalagi yang dimarahi buah hati sendiri, yang kepada mereka segala kebaikan masa mendatang diharapkan.
Kalau marah hanya untuk melampiaskan emosi semata, siapapun bisa , tidak harus menjadi orangtua.
Bagaimana kalau hati anak terlanjur retak?
Kita orangtua (yang dewasa) kembali ke kaidah, yaitu tidak malu meminta maaf lebih dulu (kepada anak). Di posisi ini singkirkan sejenak soal benar atau salah, orangtua yang sebaiknya mengalah.
Selanjutnya kita ambil pelajaran, bahwa kita orangtua seharusnya bisa menahan amarah dengan cara diam. Kemarahan pintu masuknya setan, membuat manusia tidak bisa mengendalikan lisan.
Kalau dengan diam masih belum mampu, tingalkan tempat dan ambil air wudhu dan begitu seterusnya sampai amarah mereda.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H