Kompasianer, menyandang predikat sebagai orangtua, ibarat memikul amanah tidak main-main. Sungguh tidak mudah, kerapkali berada di kondisi menguji kesabaran.
Benar kata orang bijak bahwa menjadi orangtua musti terus belajar, karena sekolahnya sepanjang hidup, kemudian ujiannya tak kenal waktu.
Bagaimanapun, orangtua tetaplah manusia biasa. Tak bisa lepas dari letupan amarah, termasuk marah pada buah hati.
Dan kadang marah yang tidak sembarangan, kategorinya benar-benar marah banget. Ditandai intonasi suara meninggi, pemilihan kalimat tajam tak bersahabat, bola mata melotot, pokoknya menyeramkan.
Sebagai orangtua saya paham, bahwa orangtua bisa semarah itu. Tetapi para ayah dan ibu, please marahnya jangan sampai kebablasan ya.
Tetaplah ditahan sebisa mungkin, supaya tidak menyesal di kemudian hari.
-----
Saya masih mengingat dengan jelas bahkan bisa merasakan ulang ketakutan itu--- tetapi saya sudah memaafkan. Ketika ayah marah besar, setelah ibu mengadu ulah bungsunya di warung yang ada di pasar.
Ketika itu sedang ramai pembeli, saya merengek minta dibelikan jajan. Ibu mengukur waktu karena masih melayani pembeli. Setelah agak sepi selembar uang diberikan, dan ketika saya hendak membeli ternyata jajanan sudah habis.
Sementara pasar masih ramai, saya kembali ke warung ibu sambil menangis kencang. Bisa dibayangkan, bagaimana malunya ibu di hadapan para pelanggan.
Kejadian memalukan sampai di telinga ayah, lelaki kalem itu sontak berubah menjadi sosok sangat menyeramkan.