Sependek pengalaman kerja yang berpindah-pindah, saya selalu menemui teman yang perannya menjadi toksik bagi yang lain. Entah toksik dari cara bicaranya, cara bersikap dan berpihaknya, dari bahasa tubuh. Semua tindak tanduk dan keputusan, bisa mencerminkan ke-toksik-annya.
Setelah dari tempat kerja satu ke tempat kerja lain, saya sampai pada satu kesimpulan bahwa lingkungan kerja, tak ubahnya miniatur kehidupan. Setiap kepala orang isinya berbeda, kemungkinkan terjadi gesekan adalah sebuah keniscayaan.
Orang toksik, bagi saya merupakan orang dengan tingkat kedewasaan masih kurang. Suka mencari kesalahan orang lain, meninggikan diri dengan merendahkan teman, mencari keuntungan di setiap kesempatan dan seterusnya.
Toksik tidak hanya terjadi di tempat kerja, bisa terjadi di kekerabatan keluarga besar, di lingkungan pergaulan atau tempat tinggal dan seterusnya.
Lalu, bagaimana menyikapinya? Perjalanan waktu dan pengalaman, biasanya akan memampukan kita menggatasi.
---
Jelang umur dua puluhan, adalah kali pertama saya bekerja di sebuah restoran cepat saji. Pekerja di tempat ini, kebanyakan usianya di bawah tiga puluh tahun.
Saya masih mengingat, siapa teman yang menjadi toksik kala itu. Teman ini umurnya (sekira) satu atau dua tahun di atas saya, kerap kali membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Sebagai anak baru saya dijadikan sasaran, diceramahi untuk hal-hal yang (sebenarnya) sudah saya lakukan dengan baik. Misalnya bagaimana melayani pembeli, bagaimana menjaga kebersihan, mengolah bahan makanan, mengoperasikan peralatan dan seterusnya.
Anehnya apa yang dia jelaskan, sebenarnya bukan jobdesk-nya. Saya merasa kelakuan tersebut, sebagai caranya menunjukkan senioritas kepada anak baru.
Sekali dua kali saya diam dan turuti, mengingat posisi masih anak baru masuk. Tetapi lama-lama tidak tahan, saya menanggapi kelakuannya.Â