Saya menunjukkan ketidaksukaan, dengan sanggahan, raut muka kecut. Setelah cukup terganggu, sikap berontak saya tunjukkan terang-terangan.
Terbersit di benak ini, sebegitu berat dan sengsaranya dunia kerja. Setiap kali pulang kerja, selain lelah secara fisik saya merasa begitu nelangsa.
Merasa juniornya berani menentang, teman ini justru kelakuannya semakin menjadi-jadi. Sikapnya membuat saya jengah dan tidak kerasan, maka melamar ke tempat pekerjaan lain.
Tidak genap setengah tahun bekerja di restoran, saya diterima di kantor lain dan tentunya dengan tantangan yang berbeda.
Di tempat pekerjaan baru lingkungannya jauh berbeda, sebagian besar karyawan sudah berkeluarga. Konflik antar teman relatif minim, tetapi dengan wajah berbeda tetap saja ada teman toksik.
Kemudian setelah berpindah dan berpindah lagi, tetap orang berperan sebagai toksik ditemui. Ada teman yang semula baik-baik saja, tetapi di perjalanan berubah sikap.
Perubahan bisa disebabkan banyak hal, misalnya prestasi satu mengungguli yang lain. Sehingga fasilitas didapat tak sama, sehingga muncul benih atau sikap ketidaksukaan dan seterusnya.Â
Tetapi saya mulai bisa menyikapi, seiring bertambahnya umur dan pengalaman.
Setiap Lingkungan Kerja akan Toksik pada Waktunya
Tak ada orang bisa menjamin sepanjang perjalanan hidupnya selalu diliputi kesenangan. Meskipun seorang sultan sekalipun, atau orang berlimpah harta dan kekuasaan.
Bahwa sedih dan senang adalah satu paket, bahwa berlelah-lelah dan istirahat adalah satu kesatuan. Sunatullah telah mengatur sedemikian rupa.