Siapa tak kenal Borobudur, candi ternama berdiri pada abad IX di masa Dinasty Syailendra. Selain sebagai Wonderful Indonesia, Borobudur masuk dalam  satu diantara tujuh keajaiban dunia. Tersebutkan di data World Heritage List tahun 1991,  yang dikeluarkan oleh UNESCO.
Semasa SMP Â saya pernah berwisata, Â menyaksikan kemegahan warisan masa silam. Saat (sok-sokan) mencoba menekuri relief- relief di dinding candi , tetap saja saya tak sanggup menangkap makna di balik simbol relief tersebut.
Untuk anak usia belasan tahun, kapasitas pengetahuannya tentu masih sangat jauh. Butuh ilmu tingkat tinggi, untuk bisa menyerap dan meresapinya panel relief tersebut.
Saya masih ingat apa yang saya nikmati kala itu, justru keseruan khas anak-anak. Â Yaitu memasukan tangan di celah lubang dinding pembungkus stupa, kalau bisa menyentuh stupa konon mendapat rejeki nomplok---ya, namanya juga anak-anak.
Sekarang, di umur yang sudah tidak muda. Saya tetap tidak berani menjamin, memiliki pemahaman yang lebih terhadap satu saja dari 1460 relief di candi Borobudur. Maklum, saya miskin ilmu tentang arkeologi.
Etapi rasa minder itu, kini mulai bisa ditepiskan. Kita bisa menikmati kedahsyatan Borobudur melalui musik, sebagai peradaban tingkat tinggi dicapai Asia Tenggara kuno.
Dan "Sound of Borobudur" adalah jalannya.Â
----
Saya membayangkan betapa magisnya, kalau berkesempatan mendengar, menikmati bebunyian yang datang dari sekian abad silam. Pastinya dibuat merinding, sekaligus menjadi pengalaman batin tak dilupakan dan tak tergantikan.
Sebuah artikel saya baca, di Candi Borobudur setidaknya terpahat 40 panil menampilkan 60 jenis jenis alat musik. Mulai dari alat musik petik, tiup, pukul, dan membran dari berbagai daerah di Nusantara dan banyak negara di dunia.
Bahkan ada relief yang menggambarkan ansambel musik, terangkai dan bermain bersama di dalam satu frame. Setelah ditelisik secara mendalam, ternyata maknanya bisa dikategorikan memenuhi persyaratan sebagai musik modern.
Seketika pikiran awam saya menarik kesimpulan, bahwa di abad itu  nenek moyang kita telah  mengenal dan paham komposisi, aransement layaknya orkestra masa kini.
Sound of Borobudur, Â bisa dijadikan salah satu celah jelajah menggali harta karun masa lalu melalui seni. Ketika menyaksikan melalui chanel Youtube, saya merasai kedahsyatan makna melalui pintu bernama musik.
Nama-nama dengan kredibilitas tak diragukan, menginterpretasikan aneka alat musik yang ada di relief candi untuk dihadirkan secara kekinian.
Mereka adalah Trie Utami, Dewa Budjana dan Purwacaraka, melakukan upaya rekonstruksi, membuat komposisi, dan aransemen ulang sehingga alat musik di relief candi kembali "berbunyi". Kalau tiga pakar musik ini bersatu, maka jangan tanya bagaimana hasil jadinya.
Saya merekomendasikan Kompasianer, untuk mendengarkan instrument lagu "Indonesia Pusaka" yang kita semua sudah mengenalnya. Cukup ketik keyword "Sound of Borobudur" saya yakin dijamin ketemu.
Saya merasakan seperti mengandung nada-nada mistis, mampu mengantarkan kekuatan magis. Terutama di bagian musik pembuka, atau intro sebelum masuk ke bagian lagu inti. Benar-benar dahsyat, dan sanubari ini seperti disentuh.
Saya sarankan mendengarkan dengan head phone, sambil memejamkan mata biar semakin syahdu dan focus. Kalau yang saya rasakan, jiwa ini seperti ditarik ke masa lalu.
Bekelebatan di ruang imajinasi, kelebatan potongan kisah masa dan terlihat serba hitam putih. Atmosfir keduluaan sekitika terasa hadir, saya sampai dibuat berdecak kagum.
Trie Utami menyampaikan pandangan, bahwa Sound of Borobudur ibarat sebuah perjalanan panjang yang sudah melampaui berbagai tahapan. Sebuah Lokomotif siap berjalan, membawa segenap gerbong di belakangnya, menembus ruang, waktu dan peristiwa.
Sebagai Candi Budha termegah yang berdiri di Magelang Jawa Tengah, kita generasi masa kini tak akan selesai mengungkap makna cakupan di relief candi.
Dari buku-buku sejarah yang saya baca menginformasikan, bahwa relief candi Borobudur menggambarkan siklus kehidupan manusia, jenis tingkah laku dan tipe manusia, flora fauna, kehidupan sosial politik, dan kesenian.
Sehingga bisa dijadikan sumber pengetahuan, baik tentang lingkungan hidup maupun aspek kultural yang kaya raya di masa silam. Candi Borobudur memiliki sifat kosmopolitan, tampak dari bangunan arkeologis-nya.
Sound of Borobudur : Menjelajah dan Merasai  Suasana Magis Musik Masa Silam Secara Kekinian
Saya akui, tiga musisi mengintepretasi musik masa lalu dengan totalitas tinggi. Misalnya Trie Utami rela bekerja keras, membuat ulang 17 jenis dawai atau alat musik petik, agar sesuai dengan yang tampak di pahatan relief candi.
Proses rekonstruksi alat tidak sekali langsung jadi, dawai yang dibuat tahun 2016 terpaksa dijadikan dummy. Kemudian diperiksa dan diproduksi ulang dari segi organologinya, baru di tahun 2018 alat musik dawai dibuat oleh seorang profesional.
Maka jangan kaget, kalau dawai di Sound of Borobudur memenuhi standarisasi Concert Grade.
Selain itu ada juga alat tabuh gerabah, yang dicari ketebalan secara pas agar sesuai dengan kepantasan bunyi. Dan tonalnya juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Beberapa jenis perkusi serta alat musik lainnya, semua diproses dengan sebegitu detil dan teliti demi mendapatan kesempurnaan bebunyian.
--
Kemudia lagu Lan E Tuyang juga tak kalah unik, mengusung musik yang kental dengan sentuhan irama dayak Kalimantan. Sekaligus menguatkan bukti, adanya panil alat musik dari seluruh penjuru negri bahkan lintas negara. Hal ini cukup sebagai legitimasi, bahwa Borobudur Pusat Musik Dunia.
Saya yang awam di bidang musik, biasanya kurang bisa menikmati musik berat. Tetapi melalui Sound of Borobudur, bisa menikmati bahkan meresapi bebunyian. Terbukti bulu kuduk merinding, ketika sampai beberapa nada yang menyentuh sanubari.
Besar harapan saya, lebih jauh menjadi bagian dari sound of Borobudur melalui sedikit kebisaan menulis- Amin.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H