Selain kawan sekelas, adik kelas, kakak kelas dan guru banyak yang mengenalnya. Meski bukan siswa idola dan terkenal, setidaknya di jajaran nama beken di sekolah nama Hanafi tercantum.
Semasa berseragam abu-abu putih, menjadi murid kesayangan guru teater. Namanya selalu dikaitkan dengan pentas teater, dikirim untuk lomba tingkat kabupaten bahkan provinsi.
Rumahnya kerap dijadikan jujukan, kalau kelas pulang lebih cepat atau selesai ujian di hari terakhir. Sehingga orangtua Hanafi, tak asing dengan nama-nama teman semasa SMA.
Nafi gagal masuk ke Universitas Negeri impian, bahkan ketika mencoba jalur mandiri dan test D3 juga tidak diterima. Setumpuk prestasi diraih saat remaja, rasanya tak ada guna, tak ada harga, tak membantu sama sekali.
Langit seperti runtuh, lelaki belia ini limbung musti melangkah ke mana. Kalau memaksakan diri kuliah swasta, sama artinya mengikatkan tali di leher ayah ibunya. Hanafi tak ingin membuat orangtua terengah-engah, setelah mereka kelabakan mengongkosi kuliah kakak-kakaknya.
Sebagai bungsu telah banyak kejadian disaksikan, bagaimana ayah yang masuk masa pensiun dan ibu yang pedagang kecil pontang- panting mencari utangan.
"Nafi kerja saja buk pak" ujarnyaÂ
Keputusan ini dengan berat diambil, setelah mengetahui namanya tak ada di pengumuman kelulusan ujian PTN. Ayah dan ibu seperti dipersimpangan jalan, meski tak sepenuhnya rela tetap dilepas ragilnya.
-----
Surabaya, kota ini sebenarnya tidak terlalu asing bagi Nafi. Kakak nomor dua kuliah di kota ini, sesekali ayah dan ibu menyambangi si bungsu diajak serta.
Setelah si kakak menikah, kalau libur ujian Nafi main barang sehari dua hari. Kini setelah lulus, Nafi bermaksudi numpang sementara di kontrakan saudara tua. Sembari mencari pekerjaan, kemudian setelah punya gaji akan ngekost.Â